Pages

Kamis, 06 Januari 2011

Siapakah Muslim “Moderat”?

Pada tanggal 18 Desember 2010, Toronto Star menerbitkan sebuah artikel yang menganjurkan pelarangan tidak hanya Niqab (penutup wajah) dan Burqa (penutup seluruh tubuh), tetapi juga hijab/jilbab (penutup kepala).
Artikel itu menyatakan, “burqa dan niqab merupakan tradisi yang memandang bahwa perempuan sebagai objek seksual, seorang penggoda, yang dengan gerakan pergelangan kakinya, dapat membawa laki-laki (makhluk yang lemah yang tidak mampu menahan godaan ini) untuk bertekuk lutut dihadapan mereka. Ini adalah sistem nilai yang menjijikkan dan saya menolaknya Jadi. semua warga Kanada harus menganut feminisme sekuler. Marilah kita larang burqa, niqab dan hijab.”
Artikel tersebut menggunakan istilah “Muslim moderat” untuk menggambarkan orang-orang yang menyatakan bahwa, “Hukum memakai penutup kepala tidak hanya memalukan bagi perempuan, tetapi merupakan penghinaan bagi laki-laki.”
“Muslim Moderat”:  Suatu Ukuran yang Islami?
Artikel itu memberikan kesempatan untuk meneliti praktek yang dilakukan media, para politisi oportunistik dan yang lainnya yang memuji sebagian orang Islam lain sebagai “Muslim moderat” dan mencela sebagian lainnya sebagai “militan,” “radikal” dan “ekstrimis.” Merupakan hal yang cukup menggoda untuk menampilkan diri sebagai bagian dari kelompok itu yang tidak menunjukkan arti negatif. Namun, sebelum menggunakan istilah-istilah seperti “Muslim moderat” dan “Ekstrimis Muslim,” kita perlu memahami masing-masing arti istilah itu.
Apa artinya “Muslim moderat”? Siapa sebenarnya “kaum ekstrimis”?
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa istilah-istilah tersebut tidak berbahaya, dan bahwa semuanya itu hanyalah sebuah cara untuk membedakan antara Muslim yang “baik” dan yang “buruk”.  CNN  member predikat Aljazair sebagai negeri kaum “ekstremis” karena melarang impor alkohol. Sebelum adanya larangan ini, kaum muslim Aljazair dianggap sebagai “moderat.”
Untuk menganalisa masalah ini (atau hal manapun), pertama kita harus merujuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Apakah Rasulallah SAW membagi para Sahabat (ra) menjadi kaum “moderat” dan  kaum ‘ekstrimis’?
Apakah para Sahabat (ra) mengukur satu sama lain dengan ukuran “moderat” atau “ekstremism”?
Allah SWT berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. [al-Hujraat, 49:13]
Oleh karena itu, ukuran mengelompokkan kaum Muslim menjadi “moderat” dan “ekstremis” adalah suatu tindakan mengada-adakan dalam Islam. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh generasi salah ulama Islam, dan hany baru-baru ini saja diperkenalkan ke dalam wacana Islam.
Menjadikan Islam Agar Terlihat Tidak Diinginkan
Kenyataan dari wacana ini adalah untuk membuat Islam agar terlihat tidak diinginkan. Media, lembaga kajian,  dan politisi mengecam Islam sebagai “militan,” “radikal” dan “ekstrimis” sehingga umat Islam merasa terancam ketika mereka mempraktekan dien mereka. Beberapa contohnya termasuk
Pantang Minum Alkohol: Kaum Muslim dianggap ekstremis karena melarang kaum Muslim lain untuk membeli alkohol di negeri kaum muslim! CNN melaporkan: “Suatu pemungutan suara mengejutkan dilakukan oleh parlemen Aljazair untuk melarang impor minuman beralkohol di negara Muslim moderat yang merupakan tanda kembalinya ekstremisme Islam …” Kita bisa melihat bahwa media menganggap bahwa mengkonsumsi alkohol sebagai ciri khas seorang muslim “moderat”. Sebaliknya, seseorang yang melarang umat Islam mengkonsumsi alkohol adalah seorang “ekstrimis”.
Mengenakan Hijab: The Toronto Star - Surat kabar yang berhaluan kiri di salah satu kota paling toleran di Kanada - menjadikan Hijab sebagai sumber ketakutan dan menyerukan untuk melarangnya! Artikel pada surat kabar Toronto Star itu sebelumnya memuji kaum “Muslim Moderat” karena membenci hokum memakainya bagi wanita untuk menutup rambut mereka seperti yang ditetapkan oleh Allah SWT, yakni dengan memakai Jilbab (yang menutupi tubuh), dan bagi pria dan wanita karena menjaga kesopanan mereka ketika berhubungan satu sama lain. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. [Al-Ahzab, 33:59]
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
Dan (bagi wanita) hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya[An-Nur, 24:31]
Meninggalkan Kewajiban Menegakkan Khilafah: Suatu Terbitan dari RAND, yang berjudul “Membangun Jaringan Muslim Moderat,” menyatakan: “Apakah filsafat politik yang berasal dari Barat ataukah sumber-sumber Al-Quran, untuk bisa dianggap demokratis, semuanya harus secara tegas mendukung pluralisme dan hak asasi manusia yang diakui secara internasional … Dukungan terhadap demokrasi berarti bertentangan dengan konsep negara Islam … Muslim moderat memegang suatu pandangan bahwa tidak ada yang bisa berbicara atas nama Allah Sebaliknya,. Hal ini adalah merupakan konsensus masyarakat (ijma), sebagaimana tercermin dalam opini publik yang diungkapkan secara bebas, yang menentukan apakah keinginan Allah dalam suatu kasus tertentu. “
Oleh karena itu, lembaga kajian, pribadi di media, dan para politisi tertentu mendefinisikan Muslim “moderat” sebagai seseorang yang bersedia untuk meninggalkan perintah Allah SWT apabila hal itu bertentangan dengan nilai-nilai liberal yang berasal dari akidah sekuler. Di sisi lain, seorang muslim yang mentaati perintah-perintah Allah SWT dianggap sebagai seorang ekstremis dan seseorang yang harus dijauhi oleh masyarakat.
Bahaya Adanya Kompromi
Kita juga harus menyadari bahaya dilakukannya kompromi. Kita mungkin tergoda untuk mengurangi praktek-praktek Islam kita dengan harapan agar dianggap moderat. Namun, Allah SWT telah memperingatkan kita terhadap praktek-praktek semacam ini:
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
Maka mereka menginginkan supaya kamu berkompromi sehingga mereka (juga) akan berkompromi dengan kamu. [al-Qalam, 68:9]
Meskipun taktik untuk mempromosikan “Muslim moderat” ini adalah hal yang baru dilakukan, hal ini bukanlah hal baru. Kekuasaan kolonial telah bekerja selama berabad-abad untuk membuat kaum Muslim mengadopsi sekularisme sebagai titik acuan tunggal mereka. Visi untuk menimbulkan mentalitas terjajah telah disosialisasikan pada tahun 1854 oleh Mountstuart Elphinstone, yang mengatakan, “kita tidak boleh bermimpi atas adanya kepemilikan abadi, tetapi harus menetapkan bagi diri kita sendiri untuk bisa membawa kaum pribumi ke dalam suatu negara yang akan mengakui hak mengatur diri mereka sendiri dengan cara yang mungkin bermanfaat bagi kepentingan kita … “
Tetap Berpegang Teguh pada Agama
Kaum Muslim telah jatuh berkali-kali. Ketika kita membaca sebuah surat kabar, menghidupkan televisi atau surfing internet kita selalu mendapatkan berita yang berisi tuduhan dan kebohongan yang dilontarkan terhadap Din kita, Nabi SAW, atau Umat Islam. Tekanan ini telah memaksa sebagian orang untuk menjelaskan Islam dengan cara untuk meredakan kritik itu - dengan harapan agar dianggap “moderat”. Kita jangan saqmpai jatuh ke dalam perangkap ini. Sebaliknya, pertama kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah SWT dan mengingat bahwa Allah SWT telah memperingatkan kita tentang tersebut:
وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا
Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. [al-Imran, 3:186]
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?  Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. [al-Ankabut, 29:2-3]
Dan Rasulallah SAW memperingatkan kita bahwa: “Akan datang suatu masa dimana pada jika berpegang teguh kepada Deen akan menjadi sebagaimana memegang bara api di tangan ” [At-Tirmidzi]
Dalam masa fitnah ini, kita harus menegaskan kembali komitmen kita terhadap Allah SWT, bekerja keras untuk mempertahankan identitas Keislaman kita, dan tetap percaya diri dimana Allah SWT telah berjanji kepada kita  :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. [Muhammad, 47:7]
Kita juga harus menyadari bahwa tujuan sebenarnya dari keberadaan kita di dunia adalah untuk memperoleh ridho Allah SWT dan kemudian dibangkitkan kembali bersama dengan para Sahabat Rasulullah SAW. Karena itu,  kita harus tabah atas cobaan apapun yang menimpa kita dan tetap teguh dengan tugas yang telah kita emban. Seorang yang beriman tidak pernah merasa rugi ketika dia menahan penderitaan untuk mendapatkan ridho Allah SWT,  karena sesungguhnya dia sedang bekerja untuk mendapatkan balasan yang abadi: Surga.
Ini secara langsung menyerang konsep Khilafah yang telah ditetapkan oleh Rasulallah SAW. Kami menyadari bahwa para Sahabat (ra), yang menggantikan Rasulullah SAW, mendirikan Khilafah, di mana Negara itu menerapkan Hukum Syariah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma-Sahabat , dan Qiyas. Mereka tidak pernah menerapkan undang-undang berdasarkan keinginan kolektif rakyat.
Rasulullah SAW bersabda: “Urusan orang beriman sungguh menakjubkan! Seluruh hidupnya adalah menguntungkan, dan itu hanya didapat pada orang beriman. Jika dia mendapat kebaikan dan bersyukur maka itu adalah baik untuknya, dan jika dia mendapat keburukan dan dia bersabar maka itu juga baik untuknya.” [Muslim]
Jika kita melihat kepada para Sahabat (ra), kita akan dapatkan bahwa mereka adalah contoh yang sangat baik untuk keteguhan hati dan ketabahan. Mereka mendapat cobaan yang sama dengan yang kita hadapi dimana orang-orang kafir menggunakan taktik busuk untuk memberi predikat buruk pada Islam. Kaum Ahli Kitab berusaha untuk membuat Islam terlihat buruk dengan membuat rintangan bagi dakwah Islam. Allah SWT berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ آمَنَ تَبْغُونَهَا عِوَجًا وَأَنْتُمْ شُهَدَاءُ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya untuk menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan?” [Al-Imran, 3:99]
Kaum Quraish juga menggunakan propaganda untuk menyebut Rasulallah SAW dan para Sahabat (ra) sebagai elemen-elemen ekstrim masyarakat. Meskipun terminologi yang mereka gunakan berbeda, tujuan mereka adalah sama: untuk menekan kaum muslimin sehingga pemikiran mereka akan sesuai dengan pemikiran, emosi, dan hukum Quraish yang kufur. Misalnya, Al-Waleed bin Al-Mughirah memimpin upaya untuk merancang strategi propaganda untuk mengisolasi Rasulullah SAW. Beberapa ide (misalnya yang menyebut beliau sebagai penyair, peramal, orang yang kerasukan oleh jin, dll) telah ditolak karena itu semua tidak realistis. Mereka menyebut beliau sebagai seorang penyihir dengan kata-kata yang memutuskan keluarga.
Meskipun pada masa Fitna dan ketakutan, Rasulallah SAW dan para Sahabat (ra) berdiri teguh di atas Din mereka dan tidak bergeser karena berada di bawah tekanan. Sebaliknya para sahaba (ra) menunjukkan keberanian yang besar. Misalnya, ketika Rasulallah SAW dan para Sahabat (ra) yang tinggal di Mekah (yaitu sebelum Hijrah), Abdullah bin Mas’ud (ra) mengatakan bahwa ia akan membuat kaum Quraisy agar mendengarkan Al Qur’an. Jadi, suatu pagi ia pergi ke Kabah dan membaca Al Qur’an dengan suara keras, sehingga orang-orang Quraisy menyerangnya. Ketika ia kembali kepada para Sahabat (ra), mereka berkata: “Inilah yang kita khawatirkan akan terjadi padamu.”
Dia mengatakan, “musuh-musuh Allah tidak pernah lebih hina di mataku daripada saat ini, dan jika kamu mau saya akan pergi lagi dan melakukan hal yang sama besok.”
Allah  SWT akhirnya membuat mereka menang atas musuh-musuh mereka di dunia ini, dan memberikan mereka kesenangan-Nya di akhirat:
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah [at-Taubah, 9:100]
Jika kita menginginkan ridho Allah SWT, kita harus mengikuti contoh Rasulallah SAW dan para sahabatnya (ra) dan, Insya Allah, kita akan di antara orang-orang yang Allah SWT ridhoi.
Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan dan tekad untuk menanggung penderitaan di zaman ini dan selalu berada di garis depan dalam membawa misi Islam dan mengembalikan kehidupan Islam di dunia ini. Amin.
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
. Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. [al-Imran, 3:139]
Sumber:
http://www.khilafah.com/index.php/concepts/general-concepts/10920-who-is-a-qmoderateq-muslim

Teori Keadilan Sosial Sayyid Qutb

Sayyid Quthub, barangkali, saat ini merupakan seorang ilmuwan Muslim yang banyak mendapat sorotan. Namanya, banyak dikaitkan dengan kebangkitan radikalisme di dunia Islam. Tak jarang yang kemudian bersikap alergi terhadap pemikirannya. Tapi, secara ilmiah, sikap a priori semacam itu tentu saja keliru. Banyak karya besar telah dilahirkannya. Salah satunya, Tafsir Fi Dzilalil Quran. Diantara pemikiran menarik dari Sayyid Quthub adalah teori tentang “keadilan sosial”.
Dalam bukunya Al-‘Adalah al-Ijtima‘iyyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) Qutb tidak menafsirkan Islam sebagai sistem moralitas yang usang. Tetapi, ia adalah kekuatan sosial dan politik konkret di seluruh dunia Muslim. Di sini Qutb melawan Ali Abd al-Raziq dan Taha Hussein yang menyatakan bahwa Islam dan politik itu tidak bersesuaian. Qutb menyatakan tidak adanya alasan untuk memisahkan Islam dengan perwujudan-perwujudan yang berbeda dari masyarakat dan politik.
Pemikiran Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam dilatar belakangi oleh pandangannya bahwa prinsip keadilan sosial Barat itu didasarkan pada pandangan Barat yang sekular, di mana agama hanya bertugas untuk pendidikan kesadaran dan penyucian jiwa, sementara hukum-hukum temporal dan sekular lah yang bertugas menata masyarakat dan mengorganisasi kehidupan manusia. Islam itu tidak demikian, kata Qutb: “…kita tidak mempunyai dasar untuk mengukuhkan permusuhan antara Islam dan perjuangan untuk keadilan sosial, seperti permusuhan yang ada antara Kristen dan Komunisme. Karena Islam telah menyiapkan prinsip-prinsip dasar keadilan sosial dan mengukuhkan klaim orang miskin pada kekayaan orang kaya; ia menyediakan prinsip keadilan bagi kekuasaan dan uang, sehingga tidak ada perlunya untuk membius pemikiran manusia dan mengajak mereka untuk meninggalkan hak-hak bumi mereka untuk tujuan harapan mereka di akhirat. (Al-‘Adalah, h. 20).
Apa yang diformulasikan Qutb adalah gagasan tentang keadilan sosial yang bersifat kewahyuan. Yaitu bahwa umat Islam harus mengambil konstruksi moral keadilan sosial dari al-Qur’an yang telah diterjemahkan secara konkret dan sukses oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Menurutnya, tradisi kenabian ini selalu muncul dari zaman ke zaman betapapun banyaknya rintangan yang membuat tenggelamnya tradisi ini.
Menurut Qutb, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan Islam menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu dan kelompok, masalah ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi dalam kemampuan individu. Ia berpihak pada kesamaan kesempatan dan mendorong kompetisi. Ia menjamin kehidupan minimum bagi setiap orang dan menentang kemewahan, tetapi tidak mengharapkan kesamaan kekayaan.

Kritik dan pujian
Hamid Algar, dalam pengantarnya untuk buku Social Justice in Islam, menyatakan, bahwa Sayyid Qutb dapat dilihat sebagai orang yang pertama di dunia Islam yang mengartikulasikan masalah keadilan sosial pada zaman modern. Teori keadilan sosialnya begitu sentral dalam pemikirannya. Teori ini dipertahankannya sehingga akhir hayatnya. Barangkali karena topik inilah yang memberikan sambungan antara teologi dan realitas sosial, suatu sambungan yang menjadi inti dari pemikirannya, yaitu Islam sebagai kekuatan sosial dan politik yang konkret.
Menurut Shepard (1996), walaupun topik yang diambil itu agak sekular yaitu keadilan sosial, Qutb mengakhirinya dengan teosentrisme penuh dengan titik tekan pada pelaksanaan Syari’ah sebagai jembatan untuk merealisasikan keadilan sosial. Demikian itu karena, bagi Qutb, hanya Allah lah yang mengetahui cara merealisasikan keadilan sosial yang benar. Maka apa yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an dan yang dilaksanakan oleh Nabi-Nya itulah yang perlu diikuti. Dan warisan itu adalah pelaksanaan Syari’ah.
Namun, Moussali (1993) dalam bukunya, The Views of Islamic Foundamentalism and Political Philosophy,  berkeberatan dengan teori Qutb tersebut, karena pandangan tersebut telah mengaburkan visi tentang bagaimana berhubungan secara praktis dengan struktur-struktur yang ada. Menurut Moussali pula, konsep Qutb tentang perlunya mentransendensi ruang dan waktu telah membawa pada gambaran idealistik yang menghalangi interaksi yang bermakna dengan realitas.
Realitas itu, tentu saja, termasuk keberadaan umat Islam yang tidak berada dalam keadaan hampa budaya. Umat Islam tengah berada dalam lingkaran budaya yang berbeda-beda dalam kehidupan mereka, budaya-budaya yang tidak sepenuhnya Islam sebagaimana yang dicontohkan Nabi dan para sahabat. Di situlah, kemudian, Qutb menyatakan bahwa umat Islam tengah mengalami kejahiliyyahan. Baginya, “Islam sudah tidak ada lagi” (Al-‘Adalah, h. 248). Sementara kejahiliyyahan itu harus dihancurkan, umat Islam tengah berada di dalamnya. Lalu bagaimana ide pemurnian itu bisa dilakukan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut,  Qutb memberikan resep yang telah dijalani oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu membentuk jama‘ah kecil yang berkomitmen kepada Allah dalam segala aspek kehidupannya, melakukan pemisahan emosional (‘uzla shu‘uriyya), kemudian membentuk generasi Qur‘ani, dan akhirnya menyiapkan tatanan hukum sosial atau membina masyarakat (Lihat Ma‘alim fi al-Tariq, passim).
Jadi, Qutb tidak sedang melakukan rapprochement (penghampiran) dengan Barat, walaupun tema keadilan sosialnya itu pun tampaknya sebagai pengaruh dari membanjirnya “vitalitas Marxisme” seperti kata Algar. Ia tengah melakukan penjauhan (distansiasi) dengan Barat dengan mengajukan resep Islam yang stabil, seimbang, dan komprehensif.
Namun, apapun yang dilontarkan oleh para pengkritik tentang pemikiran Sayyid Qutb, pemikirannya tentang keadilan sosial dalam Islam hampir murni dari kritik. Ini karena Qutb menyajikan bahwa untuk sebuah himbauan moral, Islam pun mempunyai dasar-dasar etis tentang keadilan sosial. Bukannya kritik yang ada, bahkan peniruan atas atau penghampiran dengan teori Qutb yang kemudian bermunculan. Semua buku atau artikel yang ada tentang keadilan sosial dalam Islam adalah kurang lebih sama dengan apa yang ditulis Qutb. Hamid Algar menyebut bahwa setelah buku Sayyid Qutb ini (1949) muncul buku senada dari Suriah yaitu Ishtirakiyyat al-Islam (Sosialisme Islam) (1951) oleh Mustafa al-Siba‘i, Keadilan Sosial dalam Islam (1951) oleh Hamka dari Indonesia, dan Iqtisaduna (Ekonomi Kita) oleh Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr dari Iran.
Demikian itu karena Qutb, sebagaimana penulis Muslim lainnya, mendasarkan pemikiran mereka kepada sumber yang sama: al-Qur’an dan al-Sunnah. Kaum Muslim bisa menerima teori semacam ini, sebagaimana A Theory of Justice-nya John Rawls yang masih tetap berada dalam tataran teori, orang Barat masih saja menerimanya. Bahkan banyak yang memuji Rawls, karena teorinya dipandang dapat memajukan cara berpikir tentang keadilan (Knowles, Political Philosophy,  2001).
Maka, positifnya, teori Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam ini dapat selalu mengingatkan kaum Muslim pada pandangan moral Islam tentang keadilan sosial. Sebab, keadilan adalah prinsip penting dalam ajaran Islam yang harus senantiasa ditegakkan oleh umat Islam di tengah masyarakat. (***).

Oleh: Dr. M. Taufiq Rahman
(Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung)

 
Untuk membantu keberlangsungan aktivitas INSISTS, para muhsinin dapat menyalurkan infaqnya ke Bank Syariah Mandiri Cabang Depok, No 0670009088 a.n. Yayasan Bina Peradaban Islam Al-TAMADDUN. Atau BCA No. Rek. 4212344161 an. Adian Husaini

Soal Jawab : Hukum Menonton Film di Bioskop dan Menonton Film Panas (Porno)

(sumber : Situs Amir Hizbut Tahrir ; http://hizb-ut-tahrir.info)
Tanya : “Apakah dibolehkan memasuki bioskop untuk melihat film-film yang biasa/wajar? Kemudian apakah dibolehkan untuk melihat film-film “panas”, terkait dengan kenyataan bahwa yang dilihat adalah gambar, bukan tubuh manusia yang sebenarnya? Apa yang wajib dilakukan untuk menghadapi umat islam yang memasukinya, apakah harus menyeru dan melarang mereka, atau dibiarkan saja?”
Jawab : “Memasuki gedung bioskop untuk melihat film-film yang serius dan benar-benar bermanfaat itu boleh, dengan syarat tempat duduk kelompok putri terpisah dari tempat duduk putra, sebagai mana diharuskan dalam pertemuan-pertemuan dan seminar-seminar. Oleh karena itu hukumnya jaiz(boleh), dengan syarat terpisah antara kelompok pria dengan wanita (infishol).
Namun kebolehan ini kalau memenuhi syarat-syarat diatas.Meskipun boleh, lebih utama untuk ditinggalkan(tidak dilakukan) karena khawatir kalau-kalau mata melihat sebagian aurat dari para wanita yang hadir, juga karena khawatir kalau-kalau telinga mendengar hal-hal yang tidak baik dari para penonton yang ada di ruangan itu .
Adapun melihat pertunjukan film panas/porno, maka hal itu tidak dibolehkan meskipun yang dilihat itu hanyalah gambar, bukan tubuh yang sebenarnya. Itu karena kaidah syara’ dalam masalah ini adalah :
اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى اْلحَرَامِ حَرَامٌ
“Sarana yang menghantarkan kepada perbuatan haram adalah haram.”
Tidak disyaratkan dalam kaidah ini bahwa sarana itu harus membawa kepada keharaman secara pasti (qot’iy), tapi cukup dengan dugaan kuat (غلبة الظن). Sementara pertunjukkan film-film seperti itu diduga kuat dapat membawa mereka yang hadir kepada tindakan haram, sehingga kaidah tersebut dapat diterapkan pada kasus ini. Maka dari itu, tidak boleh untuk menghadirinya (menontonnya) dan berdiam di dalamnya.
Mengenai tindakan apa yang perlu dilakukan syabab Hizb menghadapi umat Islam yang menghadiri pertunjukkan film tersebut, maka sesungguhnya sebagian besar orang yang menghadiri pertunjukkan film seperti itu adalah orang-orang yang jatuh dalam hura-hura (sampah masyarakat) dimana perintah dan larangan tidak lagi bermanfaat bagi mereka kecuali orang yang mendapat rahmat dari Rabnya. Maka dari itu, jika para syabab memiliki cara yang kuat, yang mampu menghalangi dan bijak, maka lakukanlah.
Dan mungkin maksud si penanya ini ada sebagian dari kerabatnya yang membuatnya sedih karena ia melihatnya sedang terjerumus dalam perilaku yang sakit ini, maka ia harus menjauhkannya dari kebiasaannya itu. Jika masalahnya memang demikian, maka ia harus memerintah dan melarangnya, serta memilih cara-cara yang sesuai (tepat), semoga Allah membimbingnya. Dan iapun dengan tindakannya itu berhak mendapatkan pahala, insya Allah dengan izin-Nya.
Kaum muslimin pada hari ini dikepung oleh berbagai keburukan dari segala penjuru karena lenyapnya khilafah mereka. Maka selayaknya bagi umat Islam untuk tidak menyisihkan waktu luang lagi meski untuk sekedar melakukan hiburan yang bersifat mubah, lantas bagaimana jika dia menggunakannya untuk hiburan yang haram? Wal ‘iyaadzu billaah.
Sesungguhnya wajib bagi kalian, ayyuhal ikhwah, untuk menghadapi umat Islam dengan sikap yang kuat, meski tetap dengan bijaksana, untuk menasehati mereka agar memenuhi waktu mereka dengan berbagai perbuatan baik, keuletan dan kesungguhan dalam beramal untuk mengembalikan khilafah, dan menyelamatkan umat dari keburukan-keburukan ini”.
(Dijawab oleh Amir Hizbut Tahrir Syaikh Atho’ Abu Rusytah pada tanggal 10 Oktober 2006. http://hizb-ut-tahrir.info/arabic/AmrDoc/pdf/Ajwebah-101006.pdf)

Senin, 03 Januari 2011

Kapan Ghibah Diperbolehkan? ( DARI KITAB RIYADUSH-SHALIHIN IMAM AN NAWI )



Bismillahirahmanirahiim


Ghibah adalah penyakit hati yang memakan kebaikan mendatangkan keburukan serta membuang waktu secara sia_sia


Hakikat Ghibah adalah membicarakan orang lain dengan sesuatu yang ( seandainya orang tersebut mendengarnya ) tidak disukainya. Ghibah dalam bahasa Indonesia biasanya disamakan dengan menggunjing, yaitu aktivitas membicarakan aib orang lain. Pada asalnya hukum ghibah adalah haram, kecuali pada kondisi tertentu yang diperbolehkan oleh syara'


Tulisan berikut mencoba memaparkan kondisi-kondisi tertentu dimana Ghibah boleh dilakukan, sesuai dengan penjelasan di dalam kitab Riyadhush Shalihin karya Imam An Nawiy


Ketahuilah bahwa Ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang sah menurut syari’at, di mana ada suatu keperluan yang tidak dapat tercapai kecuali dengan melakukan ghibah tersebut. Ada enam kondisi yang membolehkan ghibah dilakukan:


Pertama, mengadukan kezhaliman ( At-tazhallum ). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan, misalnya dengan mengatakan Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu


Kedua, permintaan bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiyat pada kebenaran ( Al isti’ânah ‘ala taghyîril munkar wa raddal ‘âshi ila ash shawâb ). Maka seseorang boleh menyampaikan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan kemungkaran tersebut dengan mengatakan Si Fulan telah berbuat begini, hingga selamatlah orang tersebut dari kemaksiyatan atau kemungkaran. Ataupun dengan pernyataan lain yang sejenis dengan itu, yang jelas maksudnya adalah mengarah kepada terhilangkannya suatu kemungkaran. Tapi jika tidak mengarah kepada hal semacam ini, maka tersebut adalah haram


Ketiga, permintaan fatwa ( Al istiftâ`). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti ( pemberi fatwa ), ayahku (atau saudaraku atau suamiku atau fulan) telah menzhalimi aku dengan cara begini. Lalu apa yang harus aku perbuat padanya? Bagaimana cara agar aku terlepas darinya, mendapatkan hakku, dan terlindung dari kezhaliman itu? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan


Tapi lebih tepat dan lebih afdhal jika ia mengatakan, bagaimana pendapat Anda tentang orang atau seseorang, atau seorang suami yang telah memperbuat hal seperti ini? Maka ini dapat membuatnya mencapai hasil ( jawaban ) tanpa harus menyebutkan rinciannya (tanpa perlu menyebut siapa orangnya, red). Meskipun demikian, tetap diperbolehkan untuk melakukan rincian ( At ta’yîn ), sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam hadits dari Hindun nanti. Insya Allah


Keempat, memperingatkan kaum muslimin agar waspada terhadap suatu keburukan dan menasihati mereka ( Tahdzîrul muslimîn min asy syarr wa nashîhatuhum ). Ini ada beberapa bentuk, diantaranya adalah menyebutkan keburukan sifat orang yang memang pantas disebutkan keburukannya ( jarhul majrûhîn ) yakni dari kalangan para perawi hadits dan saksi-saksi ( di pengadilan, red ). Hal ini diperbolehkan menurut ijma’ kaum muslimin. Bahkan bisa menjadi wajib untuk suatu keperluan tertentu


Contoh lainnya adalah meminta masukan atau pendapat ( musyawarah ) tentang rencana melakukan pernikahan dengan seseorang ( mushâharah ), kerjasama, memutuskan kerjasama, mua’amalat dan lain sebagainya, atau tentang hubungan ketetanggaan. Maka wajib bagi orang yang dimintai masukan untuk tidak menyembunyikan informasi seputar orang yang ingin diketahui keadaan dirinya. Bahkan ia mesti menyebutkan perangai-perangai buruknya yang memang diniatkan untuk melakukan nasehat


Contoh lainnya lagi adalah jika seseorang melihat orang lain yang belajar agama yang berulang kali datang kepada orang yang berbuat bid’ah atau orang fasik dengan maksud mengambil ilmu dari pelaku bid’ah dan orang fasik tersebut, lalu dengan itu dikhawatirkan ia akan mendapat madharat, maka ia harus menasehatinya dan memberikan penjelasan mengenai keadaan sebenarnya. Dengan syarat hal itu betul-betul dimaksudkan untuk memberi nasehat. Ini memang berpotensi untuk terjadi kekeliruan, sebab terkadang si pemberi nasehat memiliki tendensi kedengkian, hingga syaithan mencampuradukkan antara nasehat dengan kedengkian itu


Syaithan menghadirkan bayangan padanya bahwa hal itu adalah nasehat, akhirnya ia terjerumus dalam fitnah. Yang juga termasuk dalam point ini adalah bahwa ia memiliki kekuasaan yang tidak ia tegakkan dengan semestinya. Boleh jadi karena memang ia tidak layak. Atau boleh jadi karena ia fasiq maupun lalai, atau yang sejenis dengan itu. Maka wajib hal itu diungkapkan kepada orang yang memiliki kewenangan lebih tinggi di atasnya agar kelalaian itu dihilangkan atau orangnya diganti dengan yang lebih kompeten. Atau diinformasikan mengenai apa saja agar pemilik otoritas yang lebih tinggi dapat mengambil treatment sesuai tuntutan keadaan orang yang lalai tersebut. Ia tidak boleh lengah. Ia harus berusaha untuk mendorongnya agar istiqamah atau menggantinya




Kelima, seseorang memperlihatkan secara terang-terangan ( Al- mujâhir ) kefasiqan atau perilaku bid’ahnya sebagaimana orang yang yang memperlihatkan perbuatan minum khamr, menyita, mengambil upeti, pengumpulan harta secara zhalim, memimpin dengan sistem yang bathil. Maka ini boleh untuk disebutkan dikarenakan perbuatan itupun dilakukan terang-terangan ( mujâharah ). Adapun hal-hal lain yang merupakan aib yang disembunyikan tidak boleh turut disebut-sebut, kecuali adanya kebolehan yang disebabkan oleh alasan yang telah kami sebutkan pada empat point sebelumnya


Keenam, penyebutan nama ( At-ta’rîf ). Jika seseorang telah dikenal luas dengan nama laqab ( julukan ) seperti al-A’masy ( Si Kabur Penglihatannya ) atau al-A’raj ( Si Pincang ), atau al- Ashamm ( Si Tuli ), al-A’maa ( Si Buta ), al-Ahwal ( Si Juling ), dan lain sebagainya maka boleh menyebut nama mereka dengan sebutan itu. Dan diharamkan menyebutkan sisi kekurangannya yang lain. Maka, jika memungkinkan untuk menyebutkan namanya selain dengan menggunakan julukan seperti itu, maka tentu lebih diutamakan. Inilah enam sebab yang disebutkan oleh para ulama dan sebagian besarnya mereka sepekati


Adapun dalil-dalilnya adalah dari hadits-hadits shahih yang masyhur, diantaranya adalah:


عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم فقال: “ائذنوا له، بئس أخو العشيرة؟ ” ((متفق عليه))


Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa seseorang meminta izin pada Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam, lalu beliau berkata: izinkanlah ia, seburuk-buruk saudara suatu kabilah. ( Muttafaq Alaih )


Al Bukhari berhujjah dengan hadits ini mengenai kebolehan berghibah terhadap ahlul fasad ( pembuat kerusakan ) dan ahlu ar rayb ( menciptakan keraguan )


وعنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ”ما أظن فلانًا وفلانًا يعرفان من ديننا شيئًا” ((رواه البخاري)). قال الليث بن سعد أحد رواة هذا الحديث: هذان الرجلان كانا من المنافقين


Dan masih dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda, aku melihat si fulan dan si fulan tidaklah mengetahui sedikitpun dari perkara agama kami ( HR al Bukhari )


Al Layts ibn Sa’ad—salah seorang perawi hadits ini—berkata: Kedua orang yang disebut di sini adalah orang munafiq


وعن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت: إن أبا الجهم ومعاوية خطباني؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:”أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه” ((متفق عليه))


Dari Fathimah binti Qays radhiallahu anha, ia berkata: Aku mendatangi Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam lalu aku berkata, sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah mengkhitbahku. Lalu Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam berkata, adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. ( Muttafaq alaih )


Dan dalam riwayat Muslim, haditsnya berbunyi:”وأما أبو الجهم فضراب للنساء”


Adapun Abul Jahm ia suka memukul wanita. Ini merupakan penjelasan dari riwayat sebelumnya yang mengatakan ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Juga dikatakan bahwa makna ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya adalah katsiirul asfaar, yakni banyak bepergian


وعن زيد بن أرقم رضي الله عنه قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر أصاب الناس فيه شدة، فقال عبد الله بن أبي: لا تنفقوا على من عند رسول الله حتى ينفضوا وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد الله بن أبي ، فاجتهد يمينه: ما فعل، فقالوا: كذب زيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فوقع في نفسي مما قالوا شدة حتى أنزل الله تعالى تصديقي {إذا جاءك المنافقون} ثم دعاهم النبي صلى الله عليه وسلم، ليستغفر لهم فلووا رءوسهم. ((متفق عليه))


Dari Zaid bin Arqam radhiallahu anhum, ia berkata: Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan di mana orang-orang ditimpa kesulitan. Lalu Abdullah bin Ubay berkata, jangan engkau memberi infaq kepada orang-orang yang bersama Rasulullah supaya mereka bubar. Lalu ia berkata lagi, “sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya”


Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam, lalu aku mengemukakan hal tadi, maka beliau mengutus kepada Abdullah bin Ubay, namun ia bersumpah bahwa ia tidak melakukannya. Lalu orang-orang mengatakan, “Zaid telah membohongi Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam”. Lalu beliau mencelaku dengan keras atas apa yang orang-orang katakan hingga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menurunkan apa yang dapat membenarkanku {إذا جاءك المنافقون} “apa bila datang orang-orang munafiq” ( QS Al Munaafiquun )


Kemudian Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam memanggil mereka untuk memintakan ampun bagi mereka, tapi mereka memalingkan wajah mereka ( Muttafaq alaih )


وعن عائشة رضي الله عنها قالت: قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صلى الله عليه وسلم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه، وهو لا يعلم؟ قال: ”خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف” ((متفق عليه))


Dari Aisyah radhiallahu anha, ia berkata: Hindun istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit, ia tidak memberikan kepadaku apa yang mencukupi aku dan anakku kecuali apa yang aku ambil secara diam-diam tanpa sepengetahuannya”. Lalu Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam berkata “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik ( bil ma’ruf )” ( Muttafaq Alaih )


Diposkan oleh

Faizatul Rosyidah



 ·  · Bagikan