Pages

Rabu, 06 April 2011

DPR= Dewan Pengkhianat Rakyat?

[Al Islam 551] Salah satu isu hangat belakangan ini adalah rencana DPR membangun gedung baru. Awalnya, DPR beralasan karena gedung DPR yang ada saat ini mengalami ‘kemiringan’ beberapa derajat. Berikutnya DPR beralasan karena gedung yang ada saat ini sudah tidak memadai; ruangan masing-masing anggota DPR sudah terasa sempit, apalagi ada penambahan staf ahli masing-masing anggota DPR di setiap ruangan.
Rencana awal, pembagunan gedung itu akan menghabiskan biaya sekitar Rp 1,8 triliun rupiah. Saat masyarakat menganggap besarnya biaya itu terlalu mahal, DPR pun men”diskon”nya beberapa kali hingga menjadi hanya Rp 1,138 triliun saja saat ini.

Luas ruangan bagi setiap anggota DPR di gedung baru nanti direncanakan 111 meter persegi dengan total biaya per-ruangan sekitar Rp 800 juta. Itu belum termasuk mebel dan laptop (Detiknews.com, 5/4/2010). Lebih dari itu, dalam maket awal, gedung DPR baru ini juga dilengkapi dengan fasilitas layaknya hotel, antara lain kolam renang dan spa. 

Awalnya, nyaris tak ada penolakan dari para anggota DPR terkait rencana tersebut. Namun belakangan, sebagian fraksi/anggota di DPR berbalik arah. Tidak aneh jika berubahnya sikap sebagian fraksi ini dianggap hanya merupakan upaya pencitraan saja. Pasalnya, perubahan sikap tersebut baru terjadi setelah berbagai kompenen masyarakat ramai-ramai memprotes rencana yang dianggap anti rakyat itu, apalagi dalam kondisi masih banyaknya rakyat miskin yang tak punya rumah.

Meski demikian, beberapa anggota DPR tetap ngotot. Salah satunya adalah Ketua DPR Marzuki Alie yang bersikeras bahwa rencana pembangunan telah melalui prosedur yang benar. Ia justru mempersoalkan sejumlah fraksi di DPR yang berubah sikap dalam masalah itu (Republika, 5/4/2010). Lebih dari itu, Ketua DPR Marzuki Alie menilai rakyat tidak perlu diajak bicara terkait dengan proyek gedung baru tersebut, karena mereka tidak paham. “Ini cuma orang-orang elite yang paham yang bisa membahas ini (pembangunan gedung baru DPR), rakyat biasa tidak bisa dibawa,” ujar Marzuki Alie kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta, Jumat (1/4/2011) (Inilah.com, 5/4/20110).


Bukan Kasus Pertama
Kengototan DPR untuk mengegolkan rencana pembangunan gedung baru tersebut hanyalah salah satu dari sikap anti rakyat yang ditunjukkan DPR. Pada awal pelantikan para anggotanya saja, DPR telah menghamburkan uang rakyat miliaran rupiah. Padahal, seperti biasa, acara pelantikan tersebut lebih bersifat seremonial belaka. Sebagaimana kita ketahui, di tengah kemiskinan jutaan rakyat negeri ini, pelantikan Anggota DPR Terpilih Periode 2009-2014 saat itu tampak mewah karena menelan biaya sekitar Rp 11 miliar hanya untuk acara sekitar dua jam saja. Metro TV (7/9/2009) menyebutkan biaya pembuatan pin anggota DPR saja mencapai Rp 5 juta perorang. Dan biaya Rp 11 miliar itu baru dari KPU saja. Adapun dari DPR sendiri, Setjen DPR saat itu menganggarkan Rp 26 miliar atau sekitar Rp 46,5 juta peranggota untuk biaya pindah tugas (tiket keluarga anggota Dewan dan biaya pengepakan) bagi anggota baru terpilih dari luar Jakarta (Kompas.com, 9/9/2009). 

Lalu baru beberapa bulan dilantik dan belum menunjukkan kinerjanya, beberapa waktu lalu ramai diberitakan tentang kunjungan para anggota DPR ke luar negeri dengan alasan ‘studi banding’; ke Amerika, Yunani, Afrika Selatan dan sejumlah negara Eropa. Lagi-lagi, ‘studi banding’ itu dinilai banyak kalangan lebih merupakan pelesiran para anggota DPR menggunakan uang rakyat. Menurut Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Yuna Farhan, setiap kali kunjungan ke luar negeri, tiap anggota Dewan mendapat uang saku sebesar Rp 20-28 juta dan uang representasi US$ 2.000 (Sekitar Rp 20 juta). Koalisi Masyarakat Sipil memperkirakan, pada tahun 2010 dana studi banding DPR RI mencapai Rp 162,94 miliar dan berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi (Bisnis.com, 16/9/2010).

Kasus di atas hanyalah secuil contoh betapa DPR lebih peduli terhadap dirinya sendiri ketimbang terhadap rakyat yang mereka wakili. Faktanya, selama ini DPR abai terhadap nasib rakyat secara umum. Sebagaimana kita ketahui, saat ini puluhan juta rakyat di negeri ini masih dihimpit kemiskinan. Namun, tak ada tindakan nyata dari DPR untuk mendesak Pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang bisa mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Yang terjadi, DPR malah setali tiga uang dengan Pemerintah. DPR, malah menyetujui APBN anti rakyat yang diajukan Pemerintah, misalnya APBN 2011. Dari hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap APBN 2011, misalnya, ditemukan data bahwa anggaran ‘pelesiran’ membengkak: dari rencana Rp 20,9 triliun dalam RAPBN 2011 menjadi Rp 24,5 triliun dalam APBN 2011. Menurut FITRA, belanja perjalanan adalah belanja yang terus membengkak setiap tahunnya. Dalam APBN 2010 pun, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp 16,2 triliun, lalu membengkak menjadi Rp 19,5 triliun dalam APBN-P (Republika, 17/1/2011).

Membengkaknya anggaran perjalanan di APBN 2011 ini tentu bukan semata karena peran Pemerintah, tetapi juga DPR. Pasalnya, RAPBN 2011 yang diajukan Pemeritah harus mendapat persetujuan DPR hingga bisa disahkan menjadi APBN 2011. Jumlah anggaran perjalanan di atas, misalnya, jauh lebih besar dari jumlah anggaran Jamkesmas 2011 yang hanya sebesar Rp 5,6 triliun. Bahkan menurut analisis FITRA, Pemerintah justru memangkas belanja fungsi kesehatan dari 19,8 triliun Rupiah di APBN-P 2010 menjadi 13,6 triliun Rupiah di APBN 2011. Anggaran yang dialokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp 209,5 miliar. Padahal dari berbagai data, di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita hanya dialokasikan sekitar Rp 50 ribuan/balita/tahun atau sekitar Rp 4 ribuan/balita/bulan.

Disamping itu, seperti diketahui, pada akhir tahun 2010 tercatat masih ada 31,02 juta jiwa penduduk miskin di negeri ini. Di sisi lain, dengan alasan untuk menghemat anggaran, Pemerintah memutuskan melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Padahal, seperti yang diprediksi oleh BPS, pembatasan BBM bersubsidi itu pasti menyebabkan kenaikan harga barang atau inflasi. Ujung-ujungnya rakyat secara umum jugalah yang harus menanggung akibatnya. Pertanyaannya: pedulikah DPR terhadap semua ini yang notebene sangat terkait dengan kepentingan rakyat? Jawabannya: Tidak! DPR justru tampak abai kalau menyangkut kepentingan rakyat dan sebaliknya sangat peduli kalau menyangkut kepentingan dirinya sendiri.
Bukan hanya tidak peduli, DPR malah sering mengeluarkan UU seperti UU Migas, UU SDA, UU Listrik, UU Penanaman Modal, UU BHP, UU Minerba, dll, yang justru berpotensi menyengsarakan rakyat. Pasalnya, UU tersebut sarat dengan nuansa liberalisasi ekonomi. Muara dari liberalisasi ekonomi tidak lain adalah penyerahan kedaulatan atas sumberdaya alam milik rakyat kepada pihak asing. Karena itu, jangan aneh jika saat ini lebih dari 90 persen energi, misalnya, telah dikuasai pihak asing. Sumberdaya minyak dan gas (migas) juga telah banyak dikuasai pihak asing. Tentu saja semua itu legal berdasarkan UU yang diproduksi DPR. Akibatnya, di dalam negeri sendiri sering terjadi kelangkaan energi dan migas. BBM menjadi langka dan mahal. Akibatnya, kebijakan untuk menaikkan harga BBM atau pembatasan subsidi BBM selalu menjadi pilihan Pemerintah. Celakanya, kebijakan yang menyengsarakan rakyat itu sering disetujui DPR.


Mengkhianati Amanah, Menuai Laknat
Menjadi wakil rakyat sesungguhnya adalah amanah. Amanah ini berkaitan erat dengan faktor keimanan. Rasulullah saw. bersabda:

« لاَ إِيْماَنَ لِمَنْ لاَ اَمَانَةَ لَهُ »

Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah. (HR ath-Thabari).

Karena itu, amanah wajib dijaga dan sebaliknya haram untuk dikhianati. Amanah menjadi wakil rakyat tidak saja harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak. Sayangnya, jangankan di hadapan Allah di akhirat kelak, di hadapan rakyat pun para wakil rakyat tidak bisa mempertanggungjawabkan amanah rakyat yang mereka wakili. Pertanyaannya: layakkah terus-menerus berharap kepada wakil rakyat yang justru sering mengkhianati amanah rakyat yang mereka wakili? Tentu tidak! Sudah terlalu banyak bukti bahwa DPR-juga Pemerintah-yang notabene produk dari sistem demokrasi sekular, mengkhianati amanah rakyatnya sendiri. Hal ini wajar belaka. Sebab, dalam demokrasi yang berdaulat memang bukan rakyat, tetapi elit wakil rakyat yang berkolabirasi dengan penguasa dan para pemilik modal. Kepada merekalah demokrasi berkhidmat, bukan kepada rakyat. Karena itu, tak selayaknya umat ini berharap kepada mereka yang tidak amanah. Sebab, Baginda Nabi saw. bersabda:

«فَإِذَا ضُيِعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَاعَةَ . فَقَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا ؟ قَالَ: إَذَا وُسِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»
“Jika amanah diabaikan maka tunggulah kehancurannya.” Sahabat bertanya, “Bilamana amanah diabaikan?” Rasul menjawab, “Jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).



Segera Kembali pada Sistem Islam
Jelas, umat saat ini wajib segera kembali ke sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara total atas mereka. Umat harus segera menegakkan Khilafah Islam dengan segera mengangkat penguasa (khalifah) yang beriman dan bertakwa, sekaligus mengangkat para wakil rakyat yang amanah. Hanya kepada merekalah kepercayaan dan amanah selayaknya digantungkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb []

Komentar al-Islam:
BPK pada semester II 2010 menemukan 3.760 kasus dengan potensi kerugian negara Rp 3,87 triliun dan US $ 156,43 juta (detik.com, 5/4)
1. Reformasi ternyata hanya menghasilkan janji-janji politik. Faktanya pengelolaan pemerintahan yang menggunakan uang rakyat tidak kunjung bersih dari penyimpangan dan potensi korupsi yang merugikan rakyat.

2. Umat butuh perubahan rezim dan sistem kapitalisme yang menjadi biang keroknya dan ganti terapkan Islam dan syariahnya.

Mulai 1 April, Pemerintah menerapkan penjatahan BBM bersubsidi. Setiap SPBU mendapatkan jatah sesuai dengan yang sudah ditetapkan. Jika kuota habis, SPBU harus mengalihkan konsumen untuk membeli pertamax atau biodiesel. (Lihat, mediaindonesia.com, 1/4).

1. Itulah doktrin kapitalisme neo liberal yang disakralkan: subsidi BBM harus dihilangkan dan BBM harus diliberalisasi. Akibatnya rakyat buntung dan sebaliknya asing untung.

2. Satu lagi kebijakan pemerintah makin menyengsarakan rakyatnya.

3. Dalam Islam, sumber energi termasuk BBM adalah milik rakyat. Negara harus mengelolanya dan semua hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Khilafah Membuat Kemiskinan Tinggal Jadi Sejarah

Kemiskinan merupakan masalah yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan sebanyak 1,2 milyar orang menderita kelaparan atau kekurangan gizi; 100 juta orang tidak memiliki tempat tinggal, dan kira-kira 300 juta orang di Afrika saja tidak punya akses terhadap air minum yang bersih. Dunia Islam juga menderita; sebagai gambaran, di Bangladesh 35,6% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, dan 77,8% hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. Beberapa negara, seperti Bangladesh, Indonesia, dan Malaysia terlihat mengalami kemajuan sebagai negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat sedunia, tapi ironisnya, jurang pemisah yang kaya dan yang miskin kian lebar saja.

Kemiskinan yang melanda dunia bukan sebuah kebetulan, melainkan disebabkan oleh sistem yang membuat perdagangan global menjadi tidak adil, dan adanya manipulasi serta eksploitasi ekonomi dari negara-negara donor, yang notabenenya adalah negara-negara kapitalis Barat. Karena itu, sungguh naif jika ada pemikiran bahwa ketidakseimbangan ekonomi dapat dipulihkan dengan menghapuskan seluruh utang, tanpa adanya upaya untuk mengevaluasi model ekonomi kapitalis yang bertanggung jawab atas meningkatkanya krisis global ini.

Pertumbuhan kemiskinan, konflik, dan ketunaaksaraan, secara intrinsik terkait dengan budaya ketergantungan ekonomi yang berhasil ditanamkan oleh Barat ke negeri-negeri Muslim dan Dunia Ketiga. Hal ini dilakukan dengan sejumlah langkah, seperti manipulasi mata uang, pemanfaatan pinjaman negara, dan legalisasi perusahaan multinasional yang menidakstabilkan dan menghancurkan aktivitas perekonomian negeri-negeri Muslim dan Dunia Ketiga.

Ketergantungan Ekonomi
Lembaga-lembaga semacam International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan pemerintahan negara-negara Barat, sejak lama rajin meminjamkan uangnya ke negeri-negeri Muslim. Meskipun secara nominal berperan membantu pembangunan nasional, manfaat dari pinjaman itu hanya terasa dalam jangka pendek, dan selanjutnya malah mengakibatkan ketergantungan ekonomi terhadap lembaga-lembaga kreditur dan menggantungkan masa depan kepada bantuan internasional. Saat ini, 21 negeri Muslim diklasifikasikan oleh Bank Dunia sebagai negara berpendapatan rendah atau negara dengan catatan utang yang sangat parah. Berdasarkan indikator pertumbuhan, negara-negara yang “baik kinerjanya”, seperti Bangladesh, sangat tergantung pada bantuan asing sehingga mereka tetap dimasukkan oleh Bank Dunia ke dalam golongan negara-negara yang banyak utang. Utang-utang itu dibayar dengan tingkat suku bunga yang sangat memberatkan, yang melumpuhkan perekonomian, karena sebagian besar pendapatan negara dibelanjakan hanya untuk membayar utang luar negeri. Perkara ini dikemukakan dengan gamblang oleh Perdana Menteri Malaysia yang mengatakan, “Meskipun Jepang memberikan bantuan, tapi Jepang mengambil kembali dengan cara lain, seperti sihir, hampir dua kali lipat dari yang mereka berikan.” Sebagai contoh, total utang domestik dan luar negeri Pakistan mencapai 60 milyar dollar, dengan 50% anggaran negaranya dibelanjakan untuk membayar utang itu. Demikian pula dengan Mesir, yang 50% pendapatan tahunannya dan Tk 80 crore (Tk 800 juta) dari anggaran Bangladesh habis untuk membayar utang. Akibat dari utang itu sungguh parah, karena membuat negara bersangkutan terjerumus dalam lembah kemiskinan yang ekstrim.

Pinjaman IMF dan Bank Dunia tidak tanpa syarat. Pinjaman itu diberikan dalam kesepakatan yang mencakup sejumlah konsesi/kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan asing, seperti keringanan pajak selama 15 tahun dan dibebaskan dari keharusan membayar bea ekspor, sehingga tercipta “lingkungan yang kondusif bagi investasi”. Persyaratan ini membuat perusahaan-perusahaan asing memiliki keunggulan secara tidak adil dibandingkan perusahaan-perusahaan lokal, menghambat persaingan usaha dan membuat perusahaan lokal bangkrut. Persyaratan lain menuntut negara-negara debitur untuk mengurangi anggaran kesehatan dengan memberlakukan tarif bagi para pengguna layanan medis, dan memprivatisasi fasilitas-fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, guna memastikan bahwa pembayaran utang mendapat prioritas utama.

Kurangnya anggaran untuk fasilitas-fasilitas layanan dasar juga merupakan masalah tersendiri dan dapat menimbulkan efek merusak bagi kondisi kesehatan suatu negara. Sebagai contoh, banyak penyakit yang ditemui di Dunia Islam terkait dengan buruknya persediaan air, buruknya sanitasi dan pola hidup yang tidak aman secara medis, termasuk: kolera, tipoid, hepatitis, disentri, dan polio.

Persyaratan lain yang tak kalah berbahaya ialah tuntutan “pemerintahan yang lebih baik”, atau “reformasi ekonomi”, yang biasanya berarti liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan mengurangi hambatan dagang untuk barang-barang dari luar negeri. Privatisasi membuka pasar terhadap masuknya perusahaan-perusahaan asing yang berujung pada penguasaan barang publik seperti minyak dan gas. Kelak hal ini akan mengurangi secara drastis kontrol pemerintah atas sumber dayanya sendiri. Lagi-lagi ini akan menimbulkan dampak buruk terhadap perusahaan-perusahaan setempat yang tidak mampu bersaing di dalam pasar yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional, sehingga mereka semakin tergantung pada bantuan luar negeri. Pasar dalam negeri semakin terdesak oleh klausul-klausul tidak adil yang diberlakukan oleh World Trade Organisation (WTO), seperti syarat pengurangan utang atau bantuan. Sebagai contoh, WTO seringkali mendesak negara-negara Dunia Ketiga untuk menyepakati ketentuan untuk tidak memberlakukan tarif impor atas produk luar negeri. Ini berarti negara-negara tersebut tidak dapat melindungi pasar internal mereka sehingga pasokan produk agrikultur murah (karena disubsidi) dari Barat bisa melimpah, dan pada gilirannya akan menghancurkan kehidupan para petani setempat.

Ekspor dan Mata Uang
Salah satu syarat pembayaran utang ialah bahwa negara-negara debitur harus meningkatkan ekspor mereka. Akan tetapi, tidak seperti negara-negara Barat, yang mereka ekspor umumnya bukanlah barang-barang khusus dan karena itu hanya memberi marjin laba yang sedikit. Bangladesh, misalnya, kebanyakan mengekspor bahan tekstil dan garmen, rami dan produk rami, ikan beku dan makanan laut. Sebaliknya, barang-barang yang diekspor oleh Barat kebanyakan mesin-mesin industri dan senjata, produk yang sangat menguntungkan. Barat juga berkonsentrasi menjual produk akhir yang bisa langsung dikonsumsi oleh masyarakat, seperti coklat atau kopi, tapi tidak menjual alat-alat produksi, sehingga meningkatkan ketergantungan ekonomi negara-negara lain terhadap Barat.

Negara-negara seperti Bangladesh, Pakistan dan negara-negara miskin di Sub-Sahara Afrika tidak mampu membuat investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang-barang yang lebih menguntungkan, karena sebagian besar dari pendapatan tahunan mereka habis untuk membayar utang. Karena itu, utang merupakan salah satu instrumen efisien yang menjamin akses murah terhadap bahan mentah negara lain. Untuk menjamin hal ini, lembaga-lembaga semacam IMF memastikan bahwa mereka (IMF) memiliki kemampuan untuk memanipulasi mata uang negara-negara pengekspor agar mereka dapat membeli barang-barang pada tingkat harga yang mereka inginkan. Sebagai contoh, keputusan Bangladesh untuk mengambangkan mata uangnya terhadap pasar asing pada tanggal 1 Juni 2003 merupakan hasil desakan IMF. Mereka menolak memberikan bantuan darurat ketika cadangan devisa Bangladesh di bawah 1 milyar dollar, kecuali jika Bangladesh mau mengambangkan mata uangnya. Dengan begitu, yang mengendalikan taka (mata uang Bangladesh) sebenarnya ialah negara-negara Barat, bukan Bangladesh Bank, sesuai dengan keinginan mereka.

Manipulasi atas mata uang Bangladesh membuat negara-negara asing dapat membeli bahan-bahan mentah, bahkan membeli perusahaan industri, dengan harga murah. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar bisa masuk ke perekonomian setempat dan mendominasinya dengan produk-produk asing mereka. Devaluasi taka membuat tingkat inflasi naik sehingga nilai riil uang menurun, dan ini menyebabkan naiknya harga-harga kebutuhan dasar seperti roti dan ikan, dan turunya tingkat nilai riil upah.

Peran Penguasa dalam Beban Ekonomi Ketergantungan
Kepemimpinan yang tidak efektif merupakan salah satu alasan utama mengapa negeri-negeri Muslim hanya mengalami sedikit pertumbuhan ekonomi, atau tidak mampu keluar dari cengkeraman ekonomi ketergantungan. Selain karena adanya faktor uang dalam jumlah banyak, kesengsaraan rakyat diperparah oleh pemerintah yang tidak memiliki itikad politik untuk mengubah sistem yang menyebabkan kemiskinan dan penderitaan itu. Meskipun sebagian negeri Muslim menghadapi masalah ekonomi yang akut, padahal mereka kaya dengan minyak, tapi para penguasanya hampir tidak melakukan apapun untuk mengembangkan perekonomian negara mereka, dengan membangun konglomerasi multinasional atau menyewa tenaga ahli untuk belajar membuat alat-alat produksi agar bisa membangun perekonomian yang mandiri.

Bahkan, para penguasa di negeri-negeri yang kaya sumber daya alam itu seharusnya bisa merancang kebijakan swasembada untuk memperkuat perekonomian nasional mereka dan membuat mereka mampu berdiri sendiri. Yang terjadi malah para penguasa itu berusaha meningkatkan ketergantungan ekonomi negaranya. Pada akhir tahun 1990-an, Perdana Menteri Bangladesh, Syeikh Hassina, setelah penemuan cadangan gas yang melimpah di daerah Sylhet dan Teluk Bengal, serta merta memberikan kontrak konsesi gas kepada perusahaan-perusahaan AS dan asing lain seperti UNOCAL. Dan tahun lalu, pemerintah di sana menandatangani ‘nota kesepahaman’ pipa saluran gas tiga negara ‘Myanmar-Dhaka-India’, yang kian memperlemah posisi ekonomi negara tersebut. Demikian pula Pakistan, di bawah pimpinan Musharraf, telah memprivatisasi perusahaan-perusahaan listrik dan gas seperti WAPDA, dan mengalihkan kepemilikannya ke perusahaan-perusahaan multinasional yang berbasis di AS dan Eropa. Ini sangat membahayakan perekonomian mereka, karena uang yang sangat dibutuhkan untuk memutar perekonomian Pakistan kini disedot dan dialirkan ke perekonomian negara-negara Barat.

Mengganti penguasa yang ada sekarang tidak akan menghasilkan perubahan ekonomi di negeri-negeri Muslim, atau menghentikan siklus ketergantungan yang sudah kadung mengakar. Masalahnya jauh lebih dalam dari itu, dan itu lebih diakibatkan oleh dianutnya sistem ekonomi Kapitalisme; sebuah sistem yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia secara merata sehingga mengakibatkan kemiskinan merajalela. Ini terkait dengan bagaimana Kapitalisme memandang masalah ekonomi. Kapitalisme memandang masalah ekonomi sebagai ‘adanya kelangkaan sumber daya dan tidak terbatasnya kebutuhan’. Jadi, Kapitalisme berusaha mengatasi masalah ekonomi dengan memaksimalkan produksi guna menghasilkan kekayaan, yang selanjutnya akan memenuhi sebagian besar, jika tidak semua, kebutuhan manusia. Kapitalisme memiliki premis bahwa kebutuhan setiap individu tidak dapat dipenuhi, dan karena itu kemiskinan akan selalu ada berbarengan dengan kekayaan. Dengan demikian, masalah kemiskinan, ketunawismaan, dan kelaparan akan selalu menjadi ancaman laten bagi setiap masyarakat Kapitalis. Karena itu, kemiskinan bukanlah karakter negeri-negeri Muslim dan Dunia Ketiga saja, melainkan juga karakter negara-negara Barat.

Kemiskinan, ketunawismaan, penyakit dan kelaparan yang melanda Dunia Islam adalah sebagian buah dari ketergantungan ekonomi terhadap Barat dan lembaga-lembaganya. Keringanan utang, pinjaman baru, atau menambal sulam sebagian dari sistem ekonomi yang ada sekarang ini tidak akan menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh tatanan kapitalis global yang akan terus berlanjut, selama kaum Muslim masih dipimpin oleh para penguasa dan politisi yang tidak mampu melihat visi ekonomi negara-negara Barat.

Sikap menyerah dan tidak mandiri telah mempengaruhi para penguasa itu sehingga mereka lebih suka membebek daripada memimpin. Mereka tidak merasa malu dengan menjadi budak impoten yang menghamba terhadap majikan-majikan mereka, dan mereka secara sadar menghambat seruan-seruan menuju kemandirian ekonomi. Untuk bisa bebas dari siklus ketergantungan ekonomi ini, Dunia Islam harus bersatu sebagai satu kesatuan negara, untuk membentuk blok kuat yang mandiri di bawah kepemimpinan seorang penguasa yang dibimbing oleh visi yang berbeda, dan memiliki keberanian untuk membuat sistem yang mandiri dari kerangka sistem Barat yang ada sekarang.

Bagaimana Negara Khilafah akan bisa menghilangkan kemiskinan?
Islam memandang kemiskinan dari kacamata berbeda tetapi masih berkaitan dengan yang sedang diketengahkan oleh dunia berkembang, dan pada waktu bersamaan mempunyai sejumlah peraturan yang bisa menghilangkan kemiskinan. Islam mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang. Islam membagi kebutuhan tersebut ke dalam tiga hal: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dalam hal ini Islam berbeda dengan kapitalisme karena Islam melihat kemiskinan sebagai suatu prinsip yang konsisten dan tetap. Tidak seperti definisi di dunia berkembang, dimana kemiskinan dilihat dari sudut pandang yang sempit. Mereka melihat kemiskinan sebagai sebuah hubungan relatif antara GDP dengan kebutuhan masyarakat. Ini berarti, tidak bisa memenuhi barang mewah di Inggris bisa dianggap miskin, tetapi tidak di Sudan. Dengan definisi ini, sebuah kenyataan jika seseorang berada dalam kemiskinan, kemudian mendadak sontak bisa berubah ‘menjadi kaya’ hanya karena adanya kenaikan pada kekayaan negara, sementara hakekatnya tidak ada satupun yang berubah pada diri orang tersebut. Masalah krusial yang terjadi adalah tidak mungkin bisa mengembangkan kebijakan pemerintah dalam sebuah dasar dimana orang yang berada dalam kemiskinan bisa terus berubah.

Islam juga mengenal kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti keamanan dan pendidikan, dan hal ini menjadi salah satu prioritas dari negara, sesuai tanggung jawabnya untuk menjamin kebutuhan pokok sebanyak apapun itu.

Negara Khilafah akan membuat semua kelengkapan kepemilikan umum yang diperlukan sebagai sebuah kebijakan. Islam menetapkan tiga jenis kepemilikan; negara, umum, dan pribadi. Hal tersebut menandakan bahwa setiap keperluan yang dianggap tidak tergantikan bagi masyarakat sebagai properti publik, seperti jika ketidaksediaannya akan membuat orang-orang mencarinya secara luas dan jauh. Kemudian hal tersebut akan dimiliki secara publik, dan keuntungan yang dihasilkannya akan diatur bagi kepentingan seluruh penduduknya.  Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw:
Umat Muslim itu berserikat dalam tiga hal: (yaitu) air, padang rumput dan api”.

Meskipun hadits tersebut hanya menyebutkan tiga hal, kita bisa menerapkan qiyas (analogi) dan memperluas bukti untuk menutupi semua contoh kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tidak tergantikan. Seperti sumber air, hutan sebagai sumber kayu, ladang minyak, pembangkit listrik, jalan raya, sungai, lautan, danau, kanal umum, teluk, selat, bendungan dan lain-lain, tidak bisa dimiliki oleh perorangan. Tentu saja Islam akan mengijinkan kepemilikan jika hal tersebut tidak terlalu penting bagi masyarakat. Solusi ini akan membawa efek yang unik, karena hal tersebut akan memastikan setiap orang mendapatkan ketentuan yang mendasar untuk hidup, dan tidak berada di bawah monopoli atau harga-harga yang tinggi. Jika negara telah memperoleh pendapatan yang tersedia dan telah memenuhi kebutuhan masa depan yang telah direncanakan maka tidak perlu memberlakukan pajak. Zakat, sebuah pilar agama Islam yang konstan tetapi bukan berupa pajak, lebih berupa sebuah tunjangan sosial yang ditujukan bagi kategori orang-orang tertentu. Hal ini berarti umat Muslim bisa berkata bahwa mereka tidak akan lagi berkata bahwa ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan; (yaitu) kematian dan pajak.

Masalah kemiskinan bukanlah masalah dalam produksi, melainkan juga masalah distribusi produk agrikultur dalam ekonomi. Meskipun dorongan pasar akan memastikan hal itu terjadi, tetapi Negara Khilafah akan mengatur distribusi produk-produk agrikultur. Hal ini bisa dicapai dengan satu jenis kebijakan. Sebagai contoh, adalah umum jika sebuah tanah kosong yang digarap oleh seseorang, maka ia akan menjadi pemilik lahan tersebut. Hal ini berasal dari hadits Nabi Muhammad saw:
“Barang siapa yang mengolah sebuah tanah yang tidak dimiliki siapapun, maka ia lebih pantas mendapatkannya.”
Peraturan ini sangat potensial mengubah tatanan agrikultural di negeri-negeri Muslim secara fundamental. Di negara-negara Arab, terdapat air yang melimpah dan lahan yang sangat subur, tetapi lahan tersebut telah ditinggalkan karena orang-orang pindah ke ibu kota dan meninggalkan sebagian besar desa tersebut tidak berpenghuni. Salah satu aturan dalam Islam yang menyatakan bahwa seseorang yang tidak mampu secara finansial tidak bisa membiayai dirinya sendiri dan juga tidak bisa didukung oleh keluarganya maka ia berada dalam layanan finansial Khilafah. Akan tetapi, daripada mengeluarkan pemberian upah berupa keuntungan untuk menyokong masyarakat, Islam lebih condong menyediakan mereka dengan peralatan untuk mencari kekayaan mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak lahan pertanian ini yang akan diberikan pada orang-orang yang tidak mampu sehingga mereka bisa menyediakan kebutuhan pangan negaranya.

Kebijakan Pertanian
Kebijakan Negara Khilafah dalam bidang pertanian harus berkisar mencapai hal-hal sebagai berikut:
  1. Meningkatkan produksi makanan, termasuk mengembangkan teknik permesinan dan agraris terbaru.
  2. Meningkatkan produktivitas pada bahan-bahan pakaian seperti kapas, wol dan sutera, hal ini untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harus dimiliki tanpa terpaksa harus mengimpor.
  3. Meningkatkan produksi barang-barang yang mempunyai pasaran luas, baik itu produk tekstil atau makanan seperti buah jeruk, kurma dan lain-lain.

Negara Khilafah perlu medorong para petani, khususnya mereka yang kemampuannya telah terbukti, untuk menyebarkan kemampuan ini, khususnya dalam metode pertanian pada kaum Muslim yang tidak mempunyai kemampuan tersebut. Para petani Turki adalah yang paling trampil di dunia, sementara para petani Pakistan adalah petani yang teknologinya paling maju. Dorongan bisa datang berupa bantuan lahan pertanian yang luas ataupun berupa bantuan finansial secara langsung.

Negara Khilafah harus masuk dalam pasar sebagai pemasok dalam penyediaan barang dan pembeli produk-produk pertanian, dengan tujuan untuk mengatur produksi pertanian dan menjaga para produsen pertanian dari fluktuasi pasar dan melawan pengaruh kondisi alam dan cuaca.

Negara Khilafah harus mempunyai kontrol atas area produksi untuk alasan kualitas, dan untuk menanggulangi masalah-masalah kelebihan kapasitas dalam sektor-sektor agrikultur yang kurang penting.

Negara Khilafah dalam prioritasnya harus menginvestasikan banyak uang yang dibutuhkan dalam kebijakan agrikultur umum karena dua hal mendasar. Satu, hal ini adalah kebutuhan yang paling pokok dalam taraf awal Khilafah. Hanya perkembangan industri pertahanan dan konsumsi industri gas dan minyak yang harus ditekankan dalam agenda Khilafah. Dua, agrikultur juga, Insya Allah, akan menjadi sumber terbesar pekerjaan yang kemudian menyediakan lapangan kerja dan lebih banyak memutar kekayaan dalam perekonomian.

Dengan demikian Negara Khilafah harus berinvestasi dalam peralatan/permesinan dan teknik agrikultur terbaru. Perlu dicatat bahwa Korea Utara mempunyai kebijakan agrikultur yang jelas di masa lalu dan berkembang setelah Perang Dunia II dalam tiga tahapan dengan cara-cara komunis. Akan tetapi, Korea Utara menyadari bahwa ketika mereka mencoba untuk mengekspor peralatan mereka, pasar Eropa dan Amerika telah tertutup bagi mereka karena tujuan-tujuan proteksi. Negara Khilafah harus membuat persyaratan perdagangan yang menarik sehingga kita bisa mendapatkan peralatan pertanian Korea Utara dan juga mendapatkan keuntungan dari teknik-teknik pertanian mereka.

Distribusi Kekayaan
Alasan yang menggarisbawahi mengapa kemiskinan terjadi di Dunia Islam adalah karena penerapan sejumlah ide-ide kapitalis yang membatasi dengan ketat perputaran kekayaan. Negara Khilafah akan segera menghilangkan semua kesenangan sistem kapitalis dan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Jika orang telah meneliti efek peraturan itu maka jelas sudah bahwa kemiskinan akan hilang.

Islam tidak mempunyai konsep penerimaan pajak, atau pajak pertambahan nilai, atau bea pajak, ataupun kontribusi asuransi nasional, dan yang lainnya.  Tetapi Islam menempatkan kewajiban perpajakan pada kekayaan, dan bukan pada pendapatan. Efek hal tersebut dalam perekonomian sangatlah besar. Contohnya, rata-rata gaji di Inggris adalah 24.000 poundsterling. Pada kisaran tersebut beban pajak bersama dengan kontribusi pajak nasional jatuh ke 30%. Bersamaan dengan pajak tak langsung (pajak dalam pengeluaran daripada pendapatan) seperti halnya juga pajak dewan, pajak jalan dan lain-lain, berarti beban bersih pajak jatuh pada kisaran 40-50%. Hal tersebut berarti rata-rata perorang di Inggris kehilangan 10 ribu sampai 12 ribu pounsterling karena pajak.

Dalam Negara Khilafah, secara sederhana, pajak kekayaan berada dalam kisaran 2.5%. Hal ini berarti dalam setahun, orang yang berpendapatan menengah bisa menghemat 10 ribu pounds. Sehingga dua atau tiga orang bisa masuk dalam sebuah kontrak bisnis seperti mudharabah untuk mengirim beberapa permintaan untuk pelanggan dan barang-barang industri, selain menciptakan lapangan kerja lain dalam perekonomian.

Pertimbangkan juga pembatalan tingkat suku bunga.
Dalam perekonomian Barat, semua model ekonomi didasarkan pada tingkat suku bunga, dari keputusan investasi, konsumsi, tabungan, sampai pinjaman keuangan, pembelian rumah dan lainnya.

Efek dari hal tersebut adalah pengeluaran dan investasi yang tidak seimbang dan natural. Sebagai contohnya, seseorang dengan kemampuan ekonomi menengah yang membeli sebuah rumah kemudian terjebak dalam hipotik dan membayar sejumlah bunga yang mengikat selama 25-30 tahun. Hal tersebut diiringi dengan pembayaran pinjaman untuk mobil dan barang mahal lainnya yang mengikis habis pendapatan masyarakat. Akan tetapi, meskipun setelah biaya pajak, dan biaya pembayaran bunga, orang-orang masih mempunyai beberapa pendapatan yang bisa dibuang. Kemudian masalahnya adalah investasi; sesungguhnya sederhana bahwa orang-orang tidak akan berinvestasi bila rata-rata keuntungan sebuah bisnis seimbang dengan risiko kerjasama, dan bisa didapat dari bunga dengan menyimpan uang di bank untuk menambah bunga. Dengan kata lain, tingkat suku bunga membatasi investasi, dan oleh karena itu bunga menjadi rintangan dalam penyaluran kekayaan.

Selain mengatur masalah kekayaan publik, Islam juga bersandar pada sejumlah peraturan untuk memastikan kekayaan terus berputar dan menghukum -pada beberapa kasus memberlakukan pungutan- pada mereka yang menimbun kekayaan mereka. Hal ini sangat penting karena menimbun uang dan menyimpan kekayaan dalam sebuah akun untuk mendapatkan bunga bahkan akan mengakibatkan uang tidak tersirkulasi. Islam mempunyai sekumpulan aturan yang melarang penimbunan kekayaan dan mendorong pengeluaran yang memastikan distribusi kekayaan. Islam juga mempunyai pajak tanah kharaj, dimana pungutan ditentukan oleh kualitas lahan, dan ‘usyur, yang merupakan pungutan hasil dari lahan tersebut. Islam memperbolehkan pengambilalihan lahan jika lahan tersebut tidak dipakai selama tiga tahun. Peraturan ini akan sangat efektif untuk mengakhiri monopoli beberapa keluarga di dunia ketiga yang memiliki lahan yang luas dari peninggalan penjajah, kecuali lahan tersebut dipakai secara produktif yang akan membantu perputaran kekayaan.

Dalam Islam, dorongan untuk tidak berbelanja itu tidak ada, bunga itu terlarang, dan menimbun itu dikenakan pungutan. Tidak mempunyai bunga artinya tidak ada dorongan untuk menyimpan uang di bank, karena hal itu tidak akan menambah bunga, tetapi tetap dikenakan pungutan jika disimpan selama satu tahun. Dengan tidak mempunyai pajak dalam pendapatan ataupun pendapatan, sebuah proporsi pendapatan untuk pengeluaran yang lebih besar bisa bebas diinvestasikan pada barang-barang fisik, aset-aset dan berbagai peralatan, yang berimbas pada penciptaan lapangan kerja dan pemenuhan setiap permintaan dalam perekonomian. Kertas-kertas berharga seperti saham, obligasi dan surat utang sebagai bentuk komoditas, tidak terdapat dalam Islam. Satu-satunya bentuk investasi adalah dalam hal-hal/barang yang kongkrit yang memastikan perekonomian terus memutar kekayaan.

Ini adalah sebuah kumpulan kebijakan umum yang harus diikuti oleh Negara Khilafah untuk menarik Dunia Islam keluar dari kemiskinan. Sistem ini kemudian harus diperkenalkan pada negara-negara Afrika dan Amerika Latin yang selama berdekade-dekade telah tenggelam dalam kemiskinan karena cengkeraman Amerika Serikat, IMF dan Bank Dunia. Sistem ini juga kemudian harus menjadi bagian dari agenda global ketika konferensi dan perayaan seperti halnya target milenium dibicarakan. Harus dicatat bahwa banyak kebijakan yang diperkenalkan target kemiskinan dunia berasal dari dasar yang sama dimana masalah-masalah tersebut berasal.

Dunia Islam telah dianugerahi dengan tanah yang subur, air dan barang tambang, yang jika dimanfaatkan dengan baik akan menyelesaikan masalah kemiskinan dengan mudah di Dunia Islam. Sesuatu yang juga harus jelas adalah bahwa produksi barang-barang agrikultur belaka bukanlah solusi dari kemiskinan, masalahnya terletak pada penyalurannya. Turki adalah satu contoh yang bagus dimana 20% dari 70 juta penduduknya berada dalam kemiskinan meskipun mereka adalah salah satu pemimpin terbesar penghasil pertanian. Per Maret 2007, Turki adalah penghasil terbesar hazelnut, ara, apricot, cerry, quince, dan pomegranate; penghasil terbesar kedua semangka, ketimun dan kacang; penghasil ketiga terbesar  tomat, terung, cabai hijau, dan miju-miju; penghasil bawang dan zaitun terbesar keempat; penghasil gula tebu terbesar kelima; penghasil tembakau, teh dan apel terbesar keenam; penghasil kapas dan gandum ketujuh terbesar; penghasil almon ke delapan terbesar; penghasil terbesar gandum, gandum hitam, dan jeruk besar kesembilan, dan penghasil terbesar kesepuluh lemon.

Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalis dalam hal landasan maupun rinciannya. Berbeda dengan perspektif fundamental Kapitalis yang menganggap sumber daya yang ada di dunia ini terbatas, Islam memandang bahwa bumi ini sangat kaya dengan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh umat manusia. Syariat Islam memberikan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar warganegara ini kepada Negara Khilafah. (hti)

________________________________________________________________

“Sampaikanlah walaupun hanya satu ayat”
Jika ikhwan wa akhwat fiLLAH meyakini adanya kebenaran di dalam tulisan dan fans page ini, serta ingin meraih amal shaleh, maka sampaikanlah kepada saudaramu yang lain. Bagikan (share) tulisan/gambar ini kepada teman-teman facebook yang lain dan mohon bantuannya untuk mengajak teman-teman anda sebanyak mungkin di PAGE Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Khilafah, agar syiar kebaikan dapat LEBIH TERSEBAR LUAS DI BUMI INI....

fans page Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Khilafah
http://www.facebook.com/hidupsejahteradibawahnaungankhilafah
________________________________________________________________
Jazaakumullah Khairan wa Syukron Katsiiran 'Alaa Husni Ihtimaamikum.

Posted by: [KH]

Suatu Petang di Negeri Andalusia

Sahabat…. Tahukah anda bahwa Islam pernah berjaya selama 800 tahun di bumi Andalus (Spanyol) ???.. Tahukah Bahwa Thariq Ibnu Ziad adalah seorang yang sangat berandil besar dalam pembebasan Andalus dari embarator kadzaliman orang orang kafir…???. Tahukah anda bahwa penyebab terusir dan terbunuhnya ratusan ribu kaum muslimin dari bumi Andalus dikarenakan berpalingnya Kaum Muslimin dari Agama mereka, tersebarnya kerusakan dari berbagai sudut kehidupan dan diperparah lagi oleh lemahnya generasi…??? Mungkin kisah ini tlah terlupakan atau mungkin tak lagi ingin di ingat, hanya saja… aku rasa engkau butuh untuk tahu tentang hal ini.. Agar rasa cemburu terhadap umat ini bangkit dan mendarah daging dalam diri kita, dan agar semangat juang itu menjadi seperti nafas hidup yang mangalir dalam darah kita….

Tulisan dibawah ini adalah kiriman dari grup Himpunan pelajar Muslim dan saya hanya sekedar memberikan prolog saja.
Selamat membaca…..
Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap banduan penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika algojo penjara itu melintas di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu boot keras milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. “Hai! Hentikan suara jelekmu! Hentikan!”, teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya.

Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekedar cukup untuk satu orang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib, tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata “Rabbi, wa ana ‘abduka”. Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah, wahai ustadz. Insya Allah tempatmu di syurga.”
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, algojo penjara itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai. “Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tau, aku tidak suka bahasa hinamu itu? Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan Bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan suara-suara yang seharusnya tidak didengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami.”
Mendengar “khutbah” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, “Sungguh, aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”

Sejurus saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika
itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah buku kecil. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat. “Berikan buku itu, hai lelaki dungu!”, bentak Roberto.
“Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!”, ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah.
Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan algojo penjara itu merasa lebih puas lagi ketika melihat titisan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.
“Ah, seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini.” Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.
Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.

Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berjilbab digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka gelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat
pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang anak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid
semua. Anak comel itu melimpahkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan anak itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa, . . . ? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi.”
Anak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tau apa yang harus dibuat. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tau arah. Akhirnya anak itu berteriak memanggil bapaknya, “Abi, abi, abi.” Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat petang kemarin bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
“Hai, siapa kamu?”, jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati anak tersebut. “Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi”, jawabnya memohon belas kasih. “Hah? Siapa namamu? Coba ulangi!”, bentak salah seorang dari mereka. “Saya Ahmad Izzah!”, dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba “Plak!” Sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. “Hai bocah! Wajahmu tampan tapi namamu bodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang Adolf Roberto. Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!”, ancam laki-laki itu.
Anak itu menggigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya anak tampan itu hidup bersama mereka.
Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah tanda hitam ia berteriak histeris, “Abi, abi, abi!” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai tanda hitam pada bagian pusar.
Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi, aku masih ingat alif, ba, ta, tsa, . . . ” Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya. Sang ustazd segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. “Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu.” Terdengar suara Roberto meminta belas.
Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap, “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh ‘Abdullah Fattah Ismail al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu”. Setelah selesai berpesan, sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimat indah “Asyahadu alla ilaaha illallah, wa asyahadu anna Muhammad rasullullah”. Beliau pergi menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yang fana ini.
Kini Ahmad Izzah telah menjadi seorang ‘alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya.

Benarlah firman Allah:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.30:30)
Sahabat.. mari mengambil Ibrah (pelajaran)….

 http://lajafar.wordpress.com/

Negara Saudi Fase Pertama: Pertanyaan Seputar Kesyar’iannya?!

Negara Saudi Fase Pertama: Pertanyaan Seputar Kesyar’iannya?![1]


Termasuk bukti terkuat atas kemunduran dunia Islam dari sisi pemikiran dan kebangkrutannya dari sisi politik adalah suksesnya dinasti Saud –yang merupakan rezim primitif terbelakang yang dikuasai keluarga yang rusak dan bejat moralnya, yang sama dengan geng penjahat mafia, yang sistem hukumnya sama sekali tidak memenuhi elemen-elemen penopang negara kontemporer– dalam mempromosikan sistem hukumnya sebagai sistem hukum Islam!!

Yang aneh bahwa segala apa yang dibutuhkan rezim berkuasa tersebut adalah:

(1) Mengalokasikan sedikit pendapatan dari kekayaan minyannya yang melimpah –hasil rampasan dari baitul mal kaum muslimin—untuk sebagian proyek formalitas di Haramain, untuk berkhidmah kepada Haramain, dan untuk menjamu tamu-tamu Allah. Itu sudah cukup yang menipu banyak orang dari kaum muslimin yang lugu dan polos. Padahal negara dinasti Saud ‘yang penuh berkah’ –menurut mufti mereka Ibnu Baz—memperlakukan para tamu Allah dengan perlakuan yang menghinakan dan kasar, yang lebih buruk dari memperlakukan binatang melata!

(2) Mengubah dan mengkerdilakn tauhid menjadi sekumpulan pembahasan tentang ruqyah dan jimat-jimat, orang-orang mati dan kuburan, yang masih dperselisihkan hukumnya: apakah termasuk syirik akbar ataukah tidak ?! Adapun syirik akbar yang meyakinkan, yang sudah disepakati kesyirikannya, yaitu syiriknya undang-undang dan konstitusi buatan manusia, ia tidak pernah dibahas. Demikian pula pembahasan memusuhi orang-orang kafir dan memberikan loyalitas kepada orang-orang beriman, sama sekali tidak dibahas, seribu kali tidak!! Tidak berlebihan jika kami katakan bahwa rezim berkuasa Saudi telah sukses dalam mematikan tauhid dan memasukkannya ke kuburan! Semua itu tidak aneh dan asing. Yang aneh dan asing adalah jatuhnya ‘para ulama’ dan dai dalam perangkap sehingga mereka mengklaim bahwa rezim busuk tersebut adalah rezim yang syar'i atau minimal bahwa negeri Saudi bersih dari kuburan-kuburan yang dibangun dan makam-makam para wali serta bid’ah-bid’ah maulid?!
Ketakjuban tidak terhenti pada efektifitas dua aksi sederhana tersebut!

Namun Allah SWT masih sayang dengan umat ini. Kebobrokan rezim berkuasa pun mulai terkuak secara bertahap semenjak perang saudara Afghanistan. Sejak saat itu terlihat oleh setiap orang yang mempunyai dua mata bahwa ia adalah boneka yang tunduk mutlak kepada Amerika. Ujungnya pada krisis teluk terakhir. Ketika para munafik dinasti Saud dan para walinya dari dinasti Shabah tunduk di bawah telapak kaki saudara mereka --kafir Amerika—dengan memohon-mohon kasih sayang dan agar diselamatkan sekalipun dengan mengorbankan hancurnya dan embargo Iraq, tunduk kepada musuh zionis yang merampas Palestina, menerima hegemoninya, dibantainya dan dibinasakannya kaum muslimin, diperkosanya para muslimah dan dihinakannya mereka di Bosnia Herzegovina.

Namun mayoritas kaum muslimin dari kalangan aktivis dakwah masih saja banyak yang tertipu dengan masa lalu dinasti Saud. Banyak dari mereka yang menganggap negara Saudi fase pertama sebagai contoh ideal yang layak diteladani. Para pemimpinnya –yang sebagain orang menamakannya imam dan risalah-risalah serta ucapan-ucapan mereka sering dinukil—menjadi simbol keikhlasan dan jihad serta simbol ‘iffah (menjaga diri) dan kesucian!

Banyak yang menggambarkan negara tersebut dengan gambaran-gambaran imajinatif, khayalan belaka. Banyak orang yang berlebih-lebihan ketika menilainya dan menilai pendiri sebenarnya: Syaikh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Sampai-sampai dari ucapan-ucapan mereka tercium bau bahwa mereka berkeyakinan bahwa ia maksum dan tidak punya kesalahan. Dinasti Saud telah sukses memanfaatkan hal itu demi kepentingan. Mereka mengklaim keturunan mujahidin, pewaris simbol kesucian, selanjutnya, aib mereka sedikit kesalahan-kesalahan mereka terampuni di sisi ‘kebaikan’ agung yang telah dilakukan nenek moyang mereka!

Oleh karena itu wajib mengkaji negara Saudi fase pertama, apa kelebihan dan kekurangannya, mengajukan berbagai pertanyaan seputar legalitasnya dan bagaimana hubungannya dengan negara-negara Islam yang ada saat itu serta bagaimana pandangannya terhadap mayoritas kaum muslimin awam di segala penjuru dunia!

Pertama-tama, kami ingin menegaskan, tidak ada yang meragukan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hanya ingin mengembalikan dien Allah kepada masa kecemerlangannya di awal Islam. Islam yang masih bersih dari berbagai penyimpangan akidah dan perilaku. Usahanya tersebut sebatas pemahamannya terhadap nash-nash syar'i dan pendapat-pendapat fuqaha dan ijtihad-ijtihad ulama pilihannya. Terutama dua ulama besar: Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Dari karya-karya tulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab nampak seringnya ia membaca karya-karya dua imam tersebut dan mengadopsi kebanyakan pendapat-pendapat keduanya. Namun ada beberapa kesimpulan yang diambilnya masih bersifat prematur dan terlalu singkat sehingga mengubah makna aslinya. Hal itu terdapat dalam beberapa masalah. Sebagiannya cukup berbahaya, seperti pembatasan syirik akbar yang mengeluarkan dari millah Islam.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sama sekali bukan termasuk ulama besar mujtahid. Ia hanya seorang aktivis harokiy (pergerakan). Gerakan dakwahnya dimulai di tanah kelahirannya, Huraimilah. Dakwahnya diterima masyarakat sekalipun dalam lingkup terbatas.  Kemudian berpindah tidak jauh dari tanah kelahirannya menuju Uyainah. Di sana, yang menerima dakwahnya lebih banyak lagi. Namun Emir Uyainah banyak mendapat tekanan dan ancaman dari para emir tetangga untuk mengusir Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Yang paling getol menekan adalah Emir Ahsa.
Khawatir mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari Emir Ahsa Emir Uyainah memintanya meninggalkan daerah tersebut. Lalu ia pindah lagi ke Dir’iyyah. Di sanalah emirnya bersatu dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab setelah sebelumnya agak merasa bimbang dengan keputusannya tersebut dan setelah terjadi banyak dialog dengan istrinya yang cerdas pendukung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Terjadi dialog panjang antara mereka. Dialog tersebut dirangkum Ibnu Basyir dalam kitanya yang sudah masyhur “’Unwanul Majd fi Tarikh Najd”. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab seorang dai yang cukup berilmu. Ia menjelaskan asas dakwahnya dan mengajak Emir Muhammad bin Saud untuk mengikutinya. Emir pun mendengarkan dengan penuh perhatian. Pada dialog tersebut tidak ada diskusi membahas persoalan Islam dan kaum muslimin sebagaimana yang diklaim di buku-buku pelajaran yang menjadi kurikulum di negara dinasti Saud. Karena Emir Muhammad bin Saud seorang ummiy, awam, tidak paham sama sekali tentang dunia Islam yang amat luas dan segala macam persoalannya. Di akhir pertemuan emir mengerti bahwa dakwah tersebut sangat cocok untuk mengokohkan keemiranyya, bahkan memperluasnya. Emir pun menerima –atau pura-pura menerima-- dakwah baru ini dan berjanji kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk mengemban dakwah tersebut, siap berperang mempertahankannya.
Hanya saja ia memberikan beberapa syarat untuk semua imbalan tersebut. Di antaranya:

Pertama, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak boleh sekali-sekali menyinggung harta benda yang diambilnya dari penduduk Dir’iyyah dan penduduk daerah lain yang tunduk kepada kekuasaannya. Terdapat perbedaan pendapat dalam hal riwayat-riwayat mengenai penerimaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap syarat ini. Hanya saja riwayat yang valid dari riwayat Ibnu Basyir –ia seorang yang tsiqah (terpercaya)—bahwa ia menerima syarat ini dan Ibnu Basyir membenarkan hal itu dengan perkataannya, “ ... dengan harapan Allah akan menggantikan dari harta ghanimah yang akan menggantikan posisi bea cukai dan pajak-pajak yang tidak syar'i.”

Kedua, keemiran –kerajaan dan kekuasaan—harus dipegang oleh Muhammad bin Saud dan anak-anaknya. Dengan kata lain, keemiran harus dengan sistem warisan (wiratsiyyah). Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, anak-anaknya, murid-muridnya, dan ulama-ulama lainnya cukup memegang otoritas ulama dan fatwa (urusan keagamaan).
Ketiga, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab harus komitmen untuk tetap tinggal di bawah panji dinasti Saud, tidak boleh keluar berdakwah kepada selain mereka dan tidak boleh pindah meninggalkan mereka.

Syarat terakhir ini adalah satu-satunya syarat yang berani disebutkan dalam buku-buku kurikulum pelajaran Saudi. Sebagai misal, dalam buku kurikulum mata pelajaran sejarah untuk kelas tiga mutawassithah (setara SLTP) disebutkan: [Ketika Emir membaiat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk melaksanakan dien Allah dan Rasul-Nya, berjihad fi sabilillah, menegakkan syariat Islam, dan amar ma’ruf nahi mungkar, Emir meminta kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab supaya jangan pergi meninggalkan mereka! Kesepakatan ini masih berlaku antara dua dinasti –dinasti Saud dan dinasti Alu Syaikh—sampai sekarang.] Kemudian dilanjutkan: [... Itu adalah kesepakatan syar'i yang bisa diterima. Kesepakatan itu merupakan asas berdirinya pondasi negara Saudi ... dst.]

Kelihatannya para pengarang buku-buku tersebut tidak mengerti –karena rusaknya perasaan syar'i mereka—keburukan syarat tersebut –mengenai aturan semacam itu--. Mereka mengira itu mirip dengan kesepakatan Nabi SAW dengan kaum Anshar agar beliau jangan pergi meninggalkan mereka apabila Allah memenangkan beliau ketika beliau berkata, “Darah dibayar dengan darah, penghancuran harus dibayar dengan pengahncuran, hidupku sama dengan hidup kalian dan matiku adalah sama dengan kematian kalian.” Padahal beliau SAW tidak berada di bawah kekuasaan dan kepemimpinan kaum Anshar. Beliau adalah nabi yang maksum, panglima, imam, dan pemimpin negara yang mengemban dakwah ke seluruh dunia. Dan, kaum Anshar ada di bawah panji beliau, bukan beliau yang ada di bawah panji mereka, bukan pula di bawah pimpinan mereka. Justru, kaum Anshar tidak mengizinkan beliau meninggalkan mereka karena akan menghilangkan berkah agung dan keutamaan yang amat besar dari mereka.

Mungkin dinasti Saud –karena jelas merekalah di balik buku-buku tersebut—juga ingin mengirim surat peringatan kepada dinasti Alu Syaikh agar jangan sekali-sekali berpikir untuk meninggalkan mereka, membaiat selain mereka atau pindah ke negeri lain untuk berdakwah, kalau tidak ...?!

Para pengarang buku-buku tersebut juga nampak mati-matian membela kesyar’iyyan kesepakatan antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Sang Emir. Inilah yang akan menjadi fokus pembahasan kita di sini!
Sekalipun Syaikh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab mempunyai alasan untuk menerima syarat-syarat tersebut, kemudian komitmen dengannya, kami akan tetap menerapkan syariat Allah atas syarat-syarat tersebut tanpa ada sikap mudahanah dan belas kasihan. Maka kami katakan:

(1) Penguasa tidak boleh mengumpulkan harta kecuali dari sumber-sumber pendapatannya yang diizinkan syariat. Setiap sistem yang menyelisihi aturan tersebut maka ia adalah sistem kufur yang menyelisihi Islam dan menjadikan sistem negara (yang menerapkannya) menjadi sistem kufur, tidak syar'i. Sedangkan bila penguasa melakukan hal itu karena melanggar ketentuan dan dengan kekuatannya –tanpa diatur dengan sistem atau tanpa mengikuti kebiasaan penguasa—maka itu adalah dosa dan kemungkaran besar serta kezhaliman yang nyata. Hukum syar'i ini tidak berubah dengan ada atau tidaknya fatwa, dan diam atau tidaknya mufti.

(2) Sistem warisan atau sistem kerajaan bertentangan dengan Islam dan menjadikan sistem negara menjadi sistem kufur, tidak syar'i, mengakuinya sebagai suatu sistem sama dengan menghancurkan salah satu pilar sistem hukum dalam Islam dan tidak mungkin menerimanya sama sekali dalam kondisi apa pun.

(3) Sikap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang komitmen untuk tinggal menetap di bawah panji dinasti Saud berarti sama dengan membunuh dakwah yang mendunia dan membatasinya hanya di wilayah regional, kemudian setahap demi setahap berubah menjadi dakwah rasisme sebagaimana terjadi pada Yahudi pada masa Penawanan Babilonia “Al-Asr Al-Babiliy”.

(4) Pengkhususan ulama dalam urusan keagamaan sedangkan dinasti Saud dalam urusan hukum dan kekuasaan merupakan bentuk praktik pemisahan  yang nyata antara dien (agama) dan negara, yang bertentangan dengan sistem Islam, dan tidak jauh berbeda dengan sistem Eropa yang memisahkan antara negara (kekuasaan yang bertanggung jawab mengurusi urusan kehidupan dan dunia) dan gereja yang bertanggung jawab mengurusi urusan rohani dan akhirat. Ini otomatis menyebabkan munculnya kasta bangsa pendeta (ahbar [ulama] dan ruhban [ahli ibadah]) yang tidak dikenal Islam, bahkan ini diingkari dan diperangi Islam. Masalah ini mengingatkan kita kepada kesepakatan antara Imperior Romawi Konstantinopel dengan para uskup Nasrani pada abad keempat Masehi untuk menjadikan agama (urusan akhirat dan rohani) merupakan kekhususan Paus Paulus sebagai pemimpin Nasrani sedangkan kerajaan (urusan dunia) khusus bagi imperior. Di sisi lain semua pemeluk Nasrani masuk di bawah ketaatan imperior dan bergabung dengan pasukannya serta membela singgasananya.

Realitanya, penerimaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –semoga Allah memaafkannya—terhadap syarat-syarat tersebut menurunkan dakwahnya menjadi dakwah pada lingkup regional-rasisme, yang hanya terbatas pada wilayah Nejd; menjadi tunggangan dinasti Saud dan tetap seperti itu sampai sekarang dan sama sekali tidak sukese meraih dukungan mayoritas di negeri Islam mana pun. Dakwahnya menjadi kehilangan –secara maknawi dan praktik—daya terima untuk membebaskan dunia Islam dari kurungan keterbelakangan dan kemunduran dan untuk melindungi negeri-negeri kaum muslimin dari invasi orang-orang kafir penjajah yang bintang mereka naik daun pada masa itu.

Syarat-syarat batil secara syar'i ini –terutama kerajaan warisan—menghalangi keabsahan baiat dan menjadikan baiat ini batil secara syar'i, tidak berpengaruh apa pun. Di samping, keberadaan baiat tersebut hanya bersifat regional dan tidak memperhitungkan kaum muslimin yang lain, sekalipun hanya sekadar nama. Hal itu karena Muhammad bin Saud memang sama sekali belum dibaiat menjadi imam bagi kaum muslimin dalam kapasitas mereka sebagai satu umat.
Lebih besar dan lebih bahaya dari hal itu bahwa baiat tersebut bersamaan dengan adanya amirul mukminin di Istambul pusat dunia Islam. Masalahnya hampir tidak keluar --karena hal itu-- dari salah satu kemungkinan berikut:
Kemungkinan Pertama:

Kesyar’iyyan amirul mukminin tidak sah bagi pihak Dir’iyyah karena kebatilan baiatnya dan tidak terpenuhinya rukun-rukunnya. Ketika itu maka wajib menyebutkan hal itu dan hal-hal yang membolehkannya dan pernyataan atas hal itu dalam baiat Dir’iyyah dan permintaan kaum muslimin untuk mencopot perampas kekuasaan di Istambul dan membaiat Amirul Mukminin atau imam baru. Sepanjang pengetahuan kami sedikit pun dari hal-hal tersebut tidak terjadi. Bahkan para ulama dakwah wahabiyah menegaskan hal yang berbeda dengan hal itu. Lihatlah Syaikh Abdullah Aba Buthain ketika berkomentar mengenai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, “ ... semasa hidupnya ia belum digelari Imam, tidak pula Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Tidak seorang pun dari mereka semasa hidupnya yang dinamakan Imam. Penamaan imam hanya terjadi setelah mereka berdua meninggal dunia. (Ad-Durar As-Saniyyah: 7/240)
Kemungkinan Kedua:

Kesyar’iyyan Daulah Khilafah Utsaminyyah tidak sah karena telah menerapkan hukum kufur atau karena nampaknya kufur bawwah (kekafiran nyata) dan hal tersebut didiamkan saja bahkan malah dikuatkan oleh kekuasaannya. Sehingga negara Islam –daulah khilafah—sebenarnya tidak ada, dan para pengklaimnya yang ada di Istambul tidak bernilai apa-apa. Dan ketika itu maka yang wajib adalah menyebutkan hal itu dengan merinci sebab-sebab yang mengharuskannya disertai bukti-bukti dan dalil-dalilnya, menyatakannya secara terang-terangan pada waktu baiat Dir’iyyah dan mengajak kaum muslimin untuk masuk di bawah ketaatan negara Islam yang baru muncul.

Hanya saja keterangan yang kuat menyebutkan bahwa daulah Utsaminyyah adalah daulah khilafah yang syar'i dan negerinya adalah negeri Islam. Sepanjang pengetahuan kami Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-muridnya yang ternama tidak mempersoalkan fakta sejarah yang kuat ini. Barang siapa yang ingin memindahkan realita dari realita yang sudah dikenal secara meyakinkan maka ia harus mendatangkan bukti atas hal itu. Karena sesuatu yang terbukti secara meyakinkan tidak akan berubah kecuali dengan suatu yang meyakinkan pula (maa tsabata bi yaqiin, laa yazuulu illaa bi yaqiin).

Kemungkinan Ketiga:
Termasuk hal yang masih bersifat dugaan menurut orang-orang yang ikut baiat Dir’iyyah bahwa negeri Nejd benar-benar di luar kekuasaan Amirul Mukminin di Istambul dan diinginkan supaya tunduk kepada sistem Islam dan menbershkannya dari berbagai bid’ah, khurafat dan berbagai kesyirikan serta mendirikan negara independen di dalamnya. Dan ini tidak boleh karena berbilangnya imam dan negara Islam hukumnya tidak boleh.
Sebagaimana pengandaian ini jelas tidak benar di samping usaha-usaha negara Saudi fase pertama untuk melebarkan keuasaannya atas Al-Haramain yang pada saat itu ada di bawah kekuasaan khilafah Utsaminiyah dan atas wilayah-wilayah yang lain yang ada di abwah kekuasaan daulah Utsmaniyyah!

Kemungkinan Keempat:
Seperti kemungkinan ketiga hanya saja bahwa maksudnya adalah menghilangkan syirik, khurafat, kekacauan, dan kezaliman di negeri Nejd, kemudian menggabungkannya ke negara Islam –daulah khilafah di Istambul—setelah dibersihkan. Pada kondisi ini yang wajib adalah menyebutkan hal itu pada baiat Dir’iyyah sehingga pihak-pihak yang ikut baiat komitmen dengannya dan Amirul Mukiminin di Istambul mengetahuinya dan memberitahukan bahwa negeri Nejd sedang dibersihkan dan akan masuk bersama jamaah kaum muslimin di bawah kekuasaan khalifah. Sehingga tidak dibutuhkan perang melawan daulah khilafah, pertumpahan darah yang mahal yang tertumpah setelah itu, serta kehancuran dan kebinasaan yang menimpa negara Saudi pase pertama. Dan ini perkara yang mungkin dan mudah bagi para pencari akhirat dari kalangan yang sadar dan ikhlas. Kami berharap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab termasuk dari mereka, kami tidak menyucikan seorang pun atas nama Allah. Dan benar, tidak selang lama setelah itu Emir Faishal bin Turkiy –dari negara Saudi fase kedua—telah melakukannya.

Korespondensi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, demikian pula para Emir negara Saudi fase pertama, kepada para tokoh Mekah dan kepada para khalifah di Istambul menunjukkan bahwa mereka mengakui kesyar’iyyan mereka dan bahwa kekuasaan mereka syar'i. Dalam risalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada Syarif Ahmad tercantum: [Kepada paduka –semoga Allah melanggengkan karunia nikmat-nikmat-Nya kepada paduka—Yang Mulia Syarif Ahmad bin Syarif Sa’ad –semoga Allah memuliakannya di dunia akhirat dan semoga dengannya Allah memuliakan agama kakeknya, penghulu jin dan manusia, bahwa ketika surat telah sampai kepada Al-Khadim dan merenungkan untaian kalimat bagus di dalamnya, ia mengangkat kedua tangannya berdoa kepada Allah mendukung Asy-Syarif karena maksudnya adalah menolong syariat Muhammad dan orang-orang yang mengikutinya dan memusuhi orang-orang yang keluar darinya. Inilah kewajiban pemimpin (waliyyul amri).]

Kemudian melanjutkan: [Jika Allah Ta'ala telah mengambil perjanjian kepada para nabi bila mereka menjumpai Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mereka harus beriman kepada beliau dan membela beliau, maka bagaimana kita sebagai umatnya? Kita harus beriman kepada beliau dan membela beliau. Tidak cukup hanya salah satunya saja. Orang yang paling berhak dan utama adalah ahlul bait yang dari merekalah Allah mengutus beliau dan dengan beliaulah Allah memuliakan mereka. Ahlul bait yang paling berhak mendapatkan semua itu adalah keturunan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Selain itu Asy-Syarif –semoga Allah memuliakannya- mengetahui bahwa para pembantumu adalah pelayanmu. Kemudian, semoga Anda selalu dalam penjagaan dan pemeliharaan Allah.] Hayatu Muhammad bin Abdul Wahhab (Kehidupan Muhammad bin Abdul Wahhab) halaman 322.

Sebagaimana Emir Abdullah bin Saud bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Saud menulis surat kepada khalifah Utsmaniy kedua Sultan Muhammad Al-Ghazi: [... Tuan kami Sultan Mahmud Al-Ghazi, saya mengajukan permohonan ini dengan penuh kerendahan hati. Yaitu ketika hambamu ini menjadi bagian dari kaum muslimin yang tidak terlepas dari syarat-syarat Islam –yang itu adalah meninggikan kalimat syahadat, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, haji ke Baitullah Al-Haram, mencegah orang-orang zahalim dari membahayakan orang lain dan menahan kezaliman mereka.]

Kemudian setelah itu ia melanjutkan memaparkan kebohongan-kebohongan yang dibuat oleh beberapa tokoh atas namanya dan usaha mereka untuk memerangi sultan dan bahwa mereka memalsukan permohonan atas nama bapaknya Emir Saud bin Abdul Aziz yang  mengumumkan ketidaktaatannya dan menghalangi para jamaah haji. Kemudian ia melanjutkan: “ ... Secara umum, setiap apa yang dinisbatkan kepada hambamu berupa perbuatan aniaya dan keluar (memberontak) semuanya muncul dari tipu daya Asy-Syarif tersebut ...”. Kemudian ia mengakhiri perkataannya: “Saya ajukan permohonanku ini yang lebih masyhur daripada perumpamaan yang sedang ngetrend, yang membenarkan kejujuranku bahwa saya tidak akan pernah melepaskan dari ketaatan kepada paduka dan saya akan tetap menjadi hambamu yang selalu melaksanakan semua pekerjaan untuk membantu negara tertinggi. Ini menjadi bukti pasti yang menjadi saksi adanya doa-doa yang dilantunkan pada peringatan hari-hari besar, forum-forum, mimbar-mimbar supaya umur dan negara Anda terus eksis.”

Silakan rujuk semua keterangan ini kepada kitab Ad-Daulah As-Sa’udiyyah Al-Uula (Negara Saudi Fase Pertama) karya Abdurrahim Al-‘Abd Ar-Rahim halaman 392 dan setelahnya.

Sebagian aktivis Islam masa kini semisal Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq dalam kitabnya Fushul minas Siyasah Asy-Syar’iyyah fid Da’wah ilallaah (Pasal-pasal tentang Politik Syar'i dalam Berdakwah kepada Allah) berusaha membela negara Saudi fase pertama dan menggolongkan perang yang terjadi antara para tokoh Mekah dengan  Muhammad Ali –gubernur daulah Utsmaniyyah di Mesir—adalah termasuk perang untuk membela diri. Klaim ini berangkat dari anggapan syar’inya negara Saudi fase pertama. Padahal klaim ini tidak bisa diterima –sebagaimana kami jelaskan--.
Apabila negara Saudi fase pertama –dari sisi keberadaannya—tidak syar'i, maka wajib menghilangkannya dan ia tidak berhak untuk membela diri. Kondisi semacam ini sama dengan orang yang merampas tanah dan mendirikan rumah di atasnya kemudian tidak mau keluar dari tanah tersebut dan menghalangi usaha penggusurannya meski hukum dari pengadilan syar'i telah dijatuhkan. Atau, sama dengan orang yang tidak mau menyerahkan zakat kepada amir yang syar'i. Mereka semua orang-orang yang melanggar hak sejak awal dan boleh memerangi mereka dan memaksa mereka dengan kekuatan untuk komitmen dengan hukum syar'i. Mereka tidak berhak membela diri. Karena dalam kondisi itu sama dengan membela kezaliman dan penyimpangan syar'i. Oleh karena itu para fuqaha masa itu menghukumi –dengan hukum yang benar—bahwa negara Saudi fase pertama sebagai negara khawarij. Apalagi sudah terkenal bahwa ia mengkafirkan orang-orang muslim awam dan memerangi mereka sama dengan memerangi orang-orang kafir, mengambil harta benda mereka sebagai ghanimah, dan menawan para wanita mereka, sebagaimana dijelaskan secara rinci dalam kitab Ibnu Bisyr ‘Unwanul Majd fi Tarikh Najd dan kitab Ibnu Ghanam (Tarikh Najd)!

Oleh karena itu mereka berfatwa bolehnya memeranginya dengan cara syar'i dalam memerangi kelompok khawarij dan semisalnya, sebagaimana dinyatakan Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyah-nya misalnya!!

Seandainya kita menerima kesyar’iyan negara Saudi fase pertama maka jalan keluar ‘membela diri’ perlu kajian mendalam pada dokumen-dokumen sejarah untuk membuktinnya. Namun yang dipersoalkan adalah usaha negara Saudi menancapkan pengaruhnya atas Iraq dan Syam. Padahal wilayah Syam ini sampai ke tepian daerah Halab. Apa kaitan ini dengan ‘membela diri’ atau dengan berbagai konspirasi dan makar Syarif?!

Sebagaimana yang dipersoalkan adalah adanya hubungan-hubungan mencurigakan antara negara Saudi fase pertama sejak akhir masa Emir Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud dengan penguasa-penguasa Inggris di India di mana penguasa Inggris inilah yang menjadi penyuplai utama senjata negara Saudi fase pertama. Sebagaimana yang dipersoalkan adalah bahwa perang-perang negara Saudi fase pertama seluruhnya pada akhirnya untuk kepentingan Inggris, di mana kebanyakan pemerintahan teluk jatuh di bawah penjajahan Inggris dan terjadi pelemahan daulah Utsmaniyah sampai taraf yang menjatuhkannya dari tingkatan negara yang pertama dalam sikap Eropa kemudian sampai kejatuhannya setelah itu. Barang siapa yang ingin mengetahui lebih jauh silakan merujuk kepada kitab yang berjudul Hubungan Negara Saudi fase pertama dengan Inggris (‘Alaqatud Daulah As-Sa’udiyyah Al-Uula bi Brithaniya) karya Dr. Muhammad bin Abdullah As-Salman. Demikian pula kitab Konflik Para Emir: Hubungan Nejd dengan Kekuatan Politik di Teluk Arab, Study Dokumentatif (Shiraa’ul Umaraa’: ‘Alaqatu Najd bil Quwaa As-Siyasiyyah fil Khaliij Al-‘Arabiy, Dirasah Watsaiqiyyah) karya Abdul Aziz Abdul Ghaniy Ibrahim.

Ditambah bahwa termasuk sikap adil dan obyektif menuntut untuk memberikan catatan atas beberapa perkara penting. Di antaranya:

(1) Tidak ada sedikit pun keraguan mengenai keikhlasan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan kebersihannya dari hubungan apa pun dengan orang-orang kafir. Tidak benar apa yang disebarkan sebagian orang dalam hal ini. Adapun kitab yang berjudul Pengakuan-pengakuan Mata-mata Inggris (I’tiraafaat Al-Jaasuus Al-Brithaniy) adalah kitab palsu yang tidak ada asalnya, di mana pemalsunya salah ketika mengaitkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan berbagai peristiwa yang terjadi jauh setelah wafatnya. Kitab dan kisah-kisah yang terkandung di dalamnya dusta dan palsu yang tidak ada hubungannya dengan fakta-fakta sejarah.

(2) Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Emir sebenarnya sepanjang masa kekuasaan Emir Muhammad bin Saud dan awal masa kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad. Dialah yang mempersiapkan pasukan dan mengirimkan utusan-utusan. Di akhir masa kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengundurkan diri dari kehidupan umum (publik). Para sejarawan dinasti Saud menjustifikasi sikap tersebut dengan kesibukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk berkonsentrasi beribadah!! Hanya saja, kejadian yang benar yang diceritakan kepadaku secara pribadi oleh Fadhilah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah beberapa tahun sebelum wafatnya –menukilkan dari orang tua dan para kakeknya dari keluarga Alu Syaikh-- adalah bahwa sebab pengunduran diri Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ialah perbedaan pendapat yang terjadi antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Emir Abdul Aziz bin Muhammad! Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Hasan Alu Syaikh meyakini bahwa sebab perbedaan pendapat itu adalah bahwa Emir Abdul Aziz bin Muhammad tidak menghargai posisi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan tidak menghormatinya dengan penghormatan yang pantas. Namun menurutku ada dugaan kuat bahwa sebab perbedaan pendapat yang sebenarnya adalah pengingkaran Syaikh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kebijakan Abdul Aziz bin Muhammad yang mulai mendekati Inggris dan selanjutnya bisa menjadi bahaya besar atas asas aqidah negara dan akan mengancam keruntuhan asas syar'i wala (loyalitas) dan bara’ (anti loyalitas)-nya

(3) Yang paling rajih: hal-hal yang mendorong Emir Abdul Aziz bin Muhammad dan anaknya Saud bin Abdul Aziz bin Muhammad melakukan pendekatan kepada Inggris pada masa itu adalah dalam rangka pendekatan kepada kekuatan internasional yang membuatnya menjadi seimbang untuk menghadapi kekuatan khilafah Utsmaniyah. Dan hal itu disertai adanya faktor-faktor pendorong berupa cinta kerajaan (kekuasaan), kepemimpinan, dan syahwat kekuasaan. Meski itu merupakan kejahatan yang buruk, hanya saja itu sama sekali tidak mungkin dibandingkan  dengan sikap hina menjadi boneka dan sikap berkhianat yang sangat nyata yang dilakukan pendiri negara Saudi fase ketiga –Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman Alu Faishal Alu Saud dalam hubungannya dengan Inggris.

Ini dari sisi sejarah. Adapun dari sisi syar'i, kesyar’iyan negara Saudi fase pertama tidak sah dari seluruh sisinya. Karena keberadaannya dan proses lahirnya penuh dengan cacat. Ia lahir dari proses keluar atas (memberontak) khilafah syar'i di Istambul. Sehingga ia memecah belah jamaah kaum muslimin dan mencabik-cabik persatuan mereka serta melemahkan jamaah mereka. Hal itu di samping karena sistem hukumnya mengandung banyak penyimpangan syar'i yang sudah disebutkan di atas.

Ya, negara Saudi fase kedua –di bawah kepemimpinan Faishal bin Turkiy—berusaha menghalangi bantuan Inggris Kafir atas Teluk dan masuk di bahwa payung khilafah di Istambul. Namun kesempatan sejarah yang disia-siakan negara Saudi fase pertama tidak bisa kembali lagi. Karena khilafah sudah mulai tenggelam, negara Saudi fase kedua sudah hilang, sementara seluruh dunia Islam sudah ada di bawah penjajahan secara langsung. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

Muhammad Jalal Kasyk dalam kitabnya Penduduk Saudi dan Solusi Islam (As-Sa’udiyyuun wal Hill Al-Islamiy) berusaha menjustifikasi kesalahan yang dilakukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan menamakan kesalahannya sebagai sikap fleksibel dan bertahap dalam menerapkan Islam dan nama-nama lainnya yang sesuai dengan madzhab dan pandangan penulis yang batil.

Namun realita sejarah dan akhir menyakitkan negara Saudi fase pertama ketika tenggelam dalam lautan darah menjadi pelajaran praktis bagi setiap pengemban dakwah Islam untuk tidak melakukan tawar menawar atau mudahanah dalam urusan aqidah dan hukum Islam. Yang mana tawar menawar dan mudahanah –sebelum dan di luar ini—merupakan penyimpangan meyakinkan terhadap hukum-hukum syar'i yang mengharamkan berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan sekalipun hanya dalam satu masalah.

Itu juga sebagai bentuk pencampakkan dan keberpalingan dari petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam cara mengemban dakwah dan konflik aqidah dan pemikiran serta perlawanan politik untuk mendirikan negara.
Ia adalah pelajaran praktis, demikian pula pelajaran agar jangan terjatuh dalam kesalahn fatal yang mengakibatkan terbunuhnya banyak orang, yaitu kesalahan penerapan Islam secara bertahap yang dimulai dengan mendiamkan kekafiran nyata dan berakhir dengan kehancuran dan kebinasaan serta jatuh di bawah penjajahan militer, tidak adanya kedaulatan yang mandiri, sebagaimana kondisi dinasti Saud sekarang ini, yang mereka tunduk di bawah penjajahan Amerika terhadap Jazirah Arab.

Lahiriahnya, pelajaran-pelajaran ini tidak dipahami oleh kebanyakan kaum muslimin. Lihatlah, jamaah Islam terbesar jatuh dalam Pemilu Yordan, ikut serta dalam hukum thaghut, berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, yang merupakan induk dan pokok persoalan. Kemudian menarik diri dari pemerintahan disebabkan ‘perdamaian’ dengan Israel, yang ini merupakan persoalan cabang. Masih saja ia berputar-putar dan berkutat di sana. Hasil akhirnya adalah ia meneguhkan rezim kafir Yordan dan semakin menambahkan kesyar’iyannya, menguatkannya untuk semakin berkhianat, yang mereka namakan ‘perdamaian’ dengan musuh. Padahal Islam tidak berkuasa dan Palestina pun tidak terbebaskan! Di Aljazair Front Penyelamatan (Jabhatul Inqadz) terjatuh dalam kesalahan yang sama, sekalipun lebih ringan bobotnya. Lihatlah Najmuddin Erbakan yang melakukan kesalahan yang lebih parah dan buruk. Ia berjalan terhuyung-huyung dekat dengan ‘batasan’ Islam namun juga tidak jauh dari kekafiran dan kemurtadan. Wal ‘iyyaadzubillaah. Ia melakukan itu tanpa manfaat dan hasil!

Jalan kebenaran adalah komitmen dengan manhaj Nabawi (jalan Nabi) dan mengikuti wahyu dengan sempurna –dalam segala aspeknya—tanpa mengganti apa pun, tidak pula sedikit pun mudahanah, dan sabar di atasnya sampai Allah memberi keputusan:
وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَاصْبِرْ حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ
“Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Yunus [10]: 109)


[1] Dari kitab Al-Adillah Al-Qath’iyyah ‘ala Kufri Ad-Duwailah As-Sa’udiyyah (Dalil-dalil Qath’i Kafirnya Negara Saudi) karya Syaikh Mas’ariy

Karl Marx: Tokoh Yang Tidak Bisa Mengurus Diri Sendiri, Tapi Ingin Mengatur Masyarakat

Janggutnya tebal. Tubuhnya tambun. Ia berikrar agama adalah candu, bahkan benalu. Kendati demikian, ia dipuja sekaligus dibenci. Meski tuhan baginya hanya iming-iming bagi orang sulit. Iya, dia memang kesal terhadap Agama. Dengan mata kepala sendiri, ia menyaksikan kepengecutan ayahnya sebagai pendeta Yahudi yang menarik kata-kata dalam khotbahnya di bidang reformasi politik hanya karena takut dikucilkan sebagai bangsa Yahudi.

Adalah Karl Marx, pengusung sejati komunis itu yang sudah bak dewa bagi anak-anak kiri. Nama Karl Marx memang tidak asing di telinga kita. Ia banyak disorot pasca pemikiran-pemikirannya di bidang sosiologi, ekonomi, dan politik menjadi diktat wajib untuk dipelajari di kampus-kampus. Bukunya seperti Das Kapital dan Manifesto Komunis laris manis di pasaran dan coba diterapkan di masyarakat.

Akan tetapi, dibalik pemujaan bahkan kultus bagi generasi muda dunia terhadap diri seorang tokoh atheis tersebut, ada sekelumit catatan hitam dari pengalaman pribadi Marx yang jarang diketahui banyak orang. Kita hanya ingin bertanya: Betulkah Marx bisa mengurus masyarakat sedangkan ia tidak bisa menyelesaikan problem justru di kelompok terkecil dalam masyarakat: Keluarga!

Dalam lembaran catatan kelam tersebut, terkisah bagaimana gambaran hidup Marx selama ini. Pasca ayahnya meninggal, Karl Marx hidup dengan gelimang hutang disana-sini. Dalam kondisi tak berdaya, ia tidak bisa berbuat banyak. Tumpukan hutang yang menggunung menjadi sulit ia entaskan dalam kondisi ketidakadaan seorang ayah.

Wajah seorang ibu yang teduh, kemudian menjadi sasaran bagi Marx. Dengan nekat, Marx membebani utang pribadinya kepada sang ibu yang tengah menjanda. Sayangnya sang ibu malah menolak menjadi sandaran Marx untuk menutupi hutang-hutangnya, disamping keadaan telah renta, kondisi hutang Marx adalah beban tersendiri dalam keluarga.

Namun itu hanyalah sebuah kasus dari sisi negatif Marx selama ini, sebelumnya pada usia relatif remaja, Karl Marx sudah terkenal di kalangan kawan seumurannya sebagai seorang pecinta minuman. Sejak umur 17 tahun, kerongkongan Marx muda telah akrab dijejali literan anggur. Pada seluruh hidupnya tak terbesit sekalipun niat secara serius mencari kerja demi membantu keluarga. Karl Marx baru mendapat sedikit perubahan dalam sisi finansial, saat bertemu seorang pengagumnya yang bekerja di bidang penerbitan.

Menurut Herry Nurdi, Moses Hess demikian nama sang dewa penolong yang terkagum-kagum pada Marx itu. Karir Marx dalam penerbitan Hess meroket secepat kilat. Dari seorang editor ia menjadi pemimpin redaksi. Ia juga menjadi propagandis sosialis nomor wahid kala itu.

Menurut Marx, sudah waktunya bagi sosialisme untuk menuntut dan mendesak tidak lagi menyerukan ide-ide. Pada proses inilah, terjadi pergeseran pemikiran Marx dari seorang teoritis, menjadi ke arah praktis.

Dalam proses inilah Marx juga bertemu seorang komunis tulen yang kelak menjadi sahabatnya Frederich Engles (1820-1895). Seorang sahabat yang sangat sabar membiayai hidup Marx yang miskin dan kacau balau sampai akhir hayatnya.

Pada periode 1849 sampai akhir hayatnya, Marx hidup dalam buangan di Inggris. Sampai ia meninggal Marx memiliki masalah besar dalam mengatur dirinya sendiri. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan British Museum, demi menggali dan menemukan teori ekonomi dan kapital. Kecuali untuk mengunjungi keluarganya yang terbengkalai.


Ketika Marx menulis Das Kapital, sebenarnya hidup Marx berada dalam keprihatinan. Ia hidup penuh kesulitan dan terlunta-lunta. Karl Marx menelurkan konsep ekonomi tanpa memperhatikan sama sekali kehidupan ekonomi keluarganya. Karl Marx bercita-cita tentang arti masyarakat sejahtera, namun sama sekali tidak coba dilaksanakan di keluarganya sendiri. Sang istri begitu pilu hidup bagai perempuan sebatang kara di tengah hutan tanpa banyak mendapat belaian kasih saying sang suami.

Bahkan untuk biaya kehidupan keluarganyapun, harus seorang Frederich Engels mengambil peran yang “ditinggalkan” Karl Marx. Engles lah yang mengucurkan dana keseluruhan bagi biaya hidup keluarga Marx. Berkat Engels pula, Das Kapital yang menjadi rujukan para komunis itu, bisa kita temui lengkap tiga jilid banyaknya.

Cyril Smith dalam bukunya Friedrich Engels and Marx’s Critique of Political Economy, berpendapat bahwa sebenarnya banyak orang percaya bahwa Engels sering gagal memahami karya Marx. Setelah kematian Marx, Engels menjadi juru bicara terkemuka bagi teori Marxian dan dengan mendistorsi dan terlalu meyederhanakan teorinya, meskipun ia tetap setia pada perspektif politik yang telah ia bangun bersama Marx.

Menurut Paul Johnson, sejatinya Karl Marx hanya menulis Das Kapital secara lengkap hanya di jilid pertama, sedangkan dua jilid terakhir di kumpulkan Engels dari surat menyurat yang dilakukannya kepada Karl Marx. Bisa dikata, tanpa ketekunan Engles bisa jadi nama Karl Marx hanya terpasung dalam status seorang pendedam dan pemarah tanpa bisa menyelesaikan tugasnya.

Setelah menyelesaikan jilid pertama dari Das Kapital, tahun 1867, kondisi kesehatan Karl Marx menurun drastis. Tokoh Yahudi tersebut mengalami tingkat kesehatan terburuk dalam hidupnya. Marx berada dalam situasi penuh kesulitan untuk menyelesaikan buku Das Kapitalnya.

Dalam bukunya, Intellectuals, Paul Johnson juga mengambarkan sisi lain dari emosi seorang Karl Marx. Dikisahkan bagaimana jatidiri Marx selama ini tidak lebih selalu dihiasi sifat tempramen, mabuk-mabukan, pemarah serta perokok berat. Saking beratnya, istrinya sendiri menuliskan jika kita masuk ke kamarnya, mata kita akan berair kena asap rokok yang bergumpal-gumpal di dalam kamar Marx. Semuanya kotor dan diselimuti debu, bahkan untuk duduk saja, di kamarnya adalah suatu pekerjaan menjijikan.

Dengan gaya hidup seperti itu, ia telah mengorbankan dirinya sendiri. Ia menjadi sangat jarang membersihkan diri ke kamar mandi, bahkan untuk sekedar mencuci muka. Ia tak memiliki waktu jelas kapan dia tidur dan kapan ia bangun. Bahkan Karl Marx pernah ditangkap polisi karena melakukan kekerasan dan menggunakan pistol akibat akibat emosinya tidak terkontrol. Disebutkan ia, melakukannya dalam keadaan tidak sadar atau sedang mabuk. Marx memang bukan pecandu alkohol, tapi di dalam bukunya Paul Johson mengatakan bahwa Marx memiliki jadwal rutin untuk bermabuk ria.

Istrinya wafat tahun 1881, anak perempuannya tahun 1882 dan Marx sendiri wafat di tahun 1883. Karl Marx seorang yang yang tak bisa mengatur dirinya sendiri itu, kini justru berusaha mengatur masyarakat lewat ekonomi, politik, bahkan sosiologi. Fotonya dibingkai di tembok-tembok sekolah sebagai sosiolog sejati. Ironis. (pz)

Referensi
Herry Nurdi, Membaca Karl Marx Dengan Kaca Pembesar, Jurnal Islamia Vol III No. 2
Paul Jonshon, Inttelectuals: FromMarx to Tolstoy, Sartre and Chomsky. Ebook
Michael H. Hart. Seratus Tokoh Orang Paling Berpengaruh di Dunia. Ebook