Negara Saudi Fase Pertama: Pertanyaan Seputar Kesyar’iannya?! - Catatan Ideologis
Headlines News :
Home » » Negara Saudi Fase Pertama: Pertanyaan Seputar Kesyar’iannya?!

Negara Saudi Fase Pertama: Pertanyaan Seputar Kesyar’iannya?!

Written By REVIEW HERBAL DAN KOSMETIK on Rabu, 06 April 2011 | 14.23

Negara Saudi Fase Pertama: Pertanyaan Seputar Kesyar’iannya?![1]


Termasuk bukti terkuat atas kemunduran dunia Islam dari sisi pemikiran dan kebangkrutannya dari sisi politik adalah suksesnya dinasti Saud –yang merupakan rezim primitif terbelakang yang dikuasai keluarga yang rusak dan bejat moralnya, yang sama dengan geng penjahat mafia, yang sistem hukumnya sama sekali tidak memenuhi elemen-elemen penopang negara kontemporer– dalam mempromosikan sistem hukumnya sebagai sistem hukum Islam!!

Yang aneh bahwa segala apa yang dibutuhkan rezim berkuasa tersebut adalah:

(1) Mengalokasikan sedikit pendapatan dari kekayaan minyannya yang melimpah –hasil rampasan dari baitul mal kaum muslimin—untuk sebagian proyek formalitas di Haramain, untuk berkhidmah kepada Haramain, dan untuk menjamu tamu-tamu Allah. Itu sudah cukup yang menipu banyak orang dari kaum muslimin yang lugu dan polos. Padahal negara dinasti Saud ‘yang penuh berkah’ –menurut mufti mereka Ibnu Baz—memperlakukan para tamu Allah dengan perlakuan yang menghinakan dan kasar, yang lebih buruk dari memperlakukan binatang melata!

(2) Mengubah dan mengkerdilakn tauhid menjadi sekumpulan pembahasan tentang ruqyah dan jimat-jimat, orang-orang mati dan kuburan, yang masih dperselisihkan hukumnya: apakah termasuk syirik akbar ataukah tidak ?! Adapun syirik akbar yang meyakinkan, yang sudah disepakati kesyirikannya, yaitu syiriknya undang-undang dan konstitusi buatan manusia, ia tidak pernah dibahas. Demikian pula pembahasan memusuhi orang-orang kafir dan memberikan loyalitas kepada orang-orang beriman, sama sekali tidak dibahas, seribu kali tidak!! Tidak berlebihan jika kami katakan bahwa rezim berkuasa Saudi telah sukses dalam mematikan tauhid dan memasukkannya ke kuburan! Semua itu tidak aneh dan asing. Yang aneh dan asing adalah jatuhnya ‘para ulama’ dan dai dalam perangkap sehingga mereka mengklaim bahwa rezim busuk tersebut adalah rezim yang syar'i atau minimal bahwa negeri Saudi bersih dari kuburan-kuburan yang dibangun dan makam-makam para wali serta bid’ah-bid’ah maulid?!
Ketakjuban tidak terhenti pada efektifitas dua aksi sederhana tersebut!

Namun Allah SWT masih sayang dengan umat ini. Kebobrokan rezim berkuasa pun mulai terkuak secara bertahap semenjak perang saudara Afghanistan. Sejak saat itu terlihat oleh setiap orang yang mempunyai dua mata bahwa ia adalah boneka yang tunduk mutlak kepada Amerika. Ujungnya pada krisis teluk terakhir. Ketika para munafik dinasti Saud dan para walinya dari dinasti Shabah tunduk di bawah telapak kaki saudara mereka --kafir Amerika—dengan memohon-mohon kasih sayang dan agar diselamatkan sekalipun dengan mengorbankan hancurnya dan embargo Iraq, tunduk kepada musuh zionis yang merampas Palestina, menerima hegemoninya, dibantainya dan dibinasakannya kaum muslimin, diperkosanya para muslimah dan dihinakannya mereka di Bosnia Herzegovina.

Namun mayoritas kaum muslimin dari kalangan aktivis dakwah masih saja banyak yang tertipu dengan masa lalu dinasti Saud. Banyak dari mereka yang menganggap negara Saudi fase pertama sebagai contoh ideal yang layak diteladani. Para pemimpinnya –yang sebagain orang menamakannya imam dan risalah-risalah serta ucapan-ucapan mereka sering dinukil—menjadi simbol keikhlasan dan jihad serta simbol ‘iffah (menjaga diri) dan kesucian!

Banyak yang menggambarkan negara tersebut dengan gambaran-gambaran imajinatif, khayalan belaka. Banyak orang yang berlebih-lebihan ketika menilainya dan menilai pendiri sebenarnya: Syaikh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Sampai-sampai dari ucapan-ucapan mereka tercium bau bahwa mereka berkeyakinan bahwa ia maksum dan tidak punya kesalahan. Dinasti Saud telah sukses memanfaatkan hal itu demi kepentingan. Mereka mengklaim keturunan mujahidin, pewaris simbol kesucian, selanjutnya, aib mereka sedikit kesalahan-kesalahan mereka terampuni di sisi ‘kebaikan’ agung yang telah dilakukan nenek moyang mereka!

Oleh karena itu wajib mengkaji negara Saudi fase pertama, apa kelebihan dan kekurangannya, mengajukan berbagai pertanyaan seputar legalitasnya dan bagaimana hubungannya dengan negara-negara Islam yang ada saat itu serta bagaimana pandangannya terhadap mayoritas kaum muslimin awam di segala penjuru dunia!

Pertama-tama, kami ingin menegaskan, tidak ada yang meragukan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hanya ingin mengembalikan dien Allah kepada masa kecemerlangannya di awal Islam. Islam yang masih bersih dari berbagai penyimpangan akidah dan perilaku. Usahanya tersebut sebatas pemahamannya terhadap nash-nash syar'i dan pendapat-pendapat fuqaha dan ijtihad-ijtihad ulama pilihannya. Terutama dua ulama besar: Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Dari karya-karya tulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab nampak seringnya ia membaca karya-karya dua imam tersebut dan mengadopsi kebanyakan pendapat-pendapat keduanya. Namun ada beberapa kesimpulan yang diambilnya masih bersifat prematur dan terlalu singkat sehingga mengubah makna aslinya. Hal itu terdapat dalam beberapa masalah. Sebagiannya cukup berbahaya, seperti pembatasan syirik akbar yang mengeluarkan dari millah Islam.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sama sekali bukan termasuk ulama besar mujtahid. Ia hanya seorang aktivis harokiy (pergerakan). Gerakan dakwahnya dimulai di tanah kelahirannya, Huraimilah. Dakwahnya diterima masyarakat sekalipun dalam lingkup terbatas.  Kemudian berpindah tidak jauh dari tanah kelahirannya menuju Uyainah. Di sana, yang menerima dakwahnya lebih banyak lagi. Namun Emir Uyainah banyak mendapat tekanan dan ancaman dari para emir tetangga untuk mengusir Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Yang paling getol menekan adalah Emir Ahsa.
Khawatir mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari Emir Ahsa Emir Uyainah memintanya meninggalkan daerah tersebut. Lalu ia pindah lagi ke Dir’iyyah. Di sanalah emirnya bersatu dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab setelah sebelumnya agak merasa bimbang dengan keputusannya tersebut dan setelah terjadi banyak dialog dengan istrinya yang cerdas pendukung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Terjadi dialog panjang antara mereka. Dialog tersebut dirangkum Ibnu Basyir dalam kitanya yang sudah masyhur “’Unwanul Majd fi Tarikh Najd”. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab seorang dai yang cukup berilmu. Ia menjelaskan asas dakwahnya dan mengajak Emir Muhammad bin Saud untuk mengikutinya. Emir pun mendengarkan dengan penuh perhatian. Pada dialog tersebut tidak ada diskusi membahas persoalan Islam dan kaum muslimin sebagaimana yang diklaim di buku-buku pelajaran yang menjadi kurikulum di negara dinasti Saud. Karena Emir Muhammad bin Saud seorang ummiy, awam, tidak paham sama sekali tentang dunia Islam yang amat luas dan segala macam persoalannya. Di akhir pertemuan emir mengerti bahwa dakwah tersebut sangat cocok untuk mengokohkan keemiranyya, bahkan memperluasnya. Emir pun menerima –atau pura-pura menerima-- dakwah baru ini dan berjanji kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk mengemban dakwah tersebut, siap berperang mempertahankannya.
Hanya saja ia memberikan beberapa syarat untuk semua imbalan tersebut. Di antaranya:

Pertama, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak boleh sekali-sekali menyinggung harta benda yang diambilnya dari penduduk Dir’iyyah dan penduduk daerah lain yang tunduk kepada kekuasaannya. Terdapat perbedaan pendapat dalam hal riwayat-riwayat mengenai penerimaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap syarat ini. Hanya saja riwayat yang valid dari riwayat Ibnu Basyir –ia seorang yang tsiqah (terpercaya)—bahwa ia menerima syarat ini dan Ibnu Basyir membenarkan hal itu dengan perkataannya, “ ... dengan harapan Allah akan menggantikan dari harta ghanimah yang akan menggantikan posisi bea cukai dan pajak-pajak yang tidak syar'i.”

Kedua, keemiran –kerajaan dan kekuasaan—harus dipegang oleh Muhammad bin Saud dan anak-anaknya. Dengan kata lain, keemiran harus dengan sistem warisan (wiratsiyyah). Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, anak-anaknya, murid-muridnya, dan ulama-ulama lainnya cukup memegang otoritas ulama dan fatwa (urusan keagamaan).
Ketiga, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab harus komitmen untuk tetap tinggal di bawah panji dinasti Saud, tidak boleh keluar berdakwah kepada selain mereka dan tidak boleh pindah meninggalkan mereka.

Syarat terakhir ini adalah satu-satunya syarat yang berani disebutkan dalam buku-buku kurikulum pelajaran Saudi. Sebagai misal, dalam buku kurikulum mata pelajaran sejarah untuk kelas tiga mutawassithah (setara SLTP) disebutkan: [Ketika Emir membaiat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk melaksanakan dien Allah dan Rasul-Nya, berjihad fi sabilillah, menegakkan syariat Islam, dan amar ma’ruf nahi mungkar, Emir meminta kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab supaya jangan pergi meninggalkan mereka! Kesepakatan ini masih berlaku antara dua dinasti –dinasti Saud dan dinasti Alu Syaikh—sampai sekarang.] Kemudian dilanjutkan: [... Itu adalah kesepakatan syar'i yang bisa diterima. Kesepakatan itu merupakan asas berdirinya pondasi negara Saudi ... dst.]

Kelihatannya para pengarang buku-buku tersebut tidak mengerti –karena rusaknya perasaan syar'i mereka—keburukan syarat tersebut –mengenai aturan semacam itu--. Mereka mengira itu mirip dengan kesepakatan Nabi SAW dengan kaum Anshar agar beliau jangan pergi meninggalkan mereka apabila Allah memenangkan beliau ketika beliau berkata, “Darah dibayar dengan darah, penghancuran harus dibayar dengan pengahncuran, hidupku sama dengan hidup kalian dan matiku adalah sama dengan kematian kalian.” Padahal beliau SAW tidak berada di bawah kekuasaan dan kepemimpinan kaum Anshar. Beliau adalah nabi yang maksum, panglima, imam, dan pemimpin negara yang mengemban dakwah ke seluruh dunia. Dan, kaum Anshar ada di bawah panji beliau, bukan beliau yang ada di bawah panji mereka, bukan pula di bawah pimpinan mereka. Justru, kaum Anshar tidak mengizinkan beliau meninggalkan mereka karena akan menghilangkan berkah agung dan keutamaan yang amat besar dari mereka.

Mungkin dinasti Saud –karena jelas merekalah di balik buku-buku tersebut—juga ingin mengirim surat peringatan kepada dinasti Alu Syaikh agar jangan sekali-sekali berpikir untuk meninggalkan mereka, membaiat selain mereka atau pindah ke negeri lain untuk berdakwah, kalau tidak ...?!

Para pengarang buku-buku tersebut juga nampak mati-matian membela kesyar’iyyan kesepakatan antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Sang Emir. Inilah yang akan menjadi fokus pembahasan kita di sini!
Sekalipun Syaikh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab mempunyai alasan untuk menerima syarat-syarat tersebut, kemudian komitmen dengannya, kami akan tetap menerapkan syariat Allah atas syarat-syarat tersebut tanpa ada sikap mudahanah dan belas kasihan. Maka kami katakan:

(1) Penguasa tidak boleh mengumpulkan harta kecuali dari sumber-sumber pendapatannya yang diizinkan syariat. Setiap sistem yang menyelisihi aturan tersebut maka ia adalah sistem kufur yang menyelisihi Islam dan menjadikan sistem negara (yang menerapkannya) menjadi sistem kufur, tidak syar'i. Sedangkan bila penguasa melakukan hal itu karena melanggar ketentuan dan dengan kekuatannya –tanpa diatur dengan sistem atau tanpa mengikuti kebiasaan penguasa—maka itu adalah dosa dan kemungkaran besar serta kezhaliman yang nyata. Hukum syar'i ini tidak berubah dengan ada atau tidaknya fatwa, dan diam atau tidaknya mufti.

(2) Sistem warisan atau sistem kerajaan bertentangan dengan Islam dan menjadikan sistem negara menjadi sistem kufur, tidak syar'i, mengakuinya sebagai suatu sistem sama dengan menghancurkan salah satu pilar sistem hukum dalam Islam dan tidak mungkin menerimanya sama sekali dalam kondisi apa pun.

(3) Sikap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang komitmen untuk tinggal menetap di bawah panji dinasti Saud berarti sama dengan membunuh dakwah yang mendunia dan membatasinya hanya di wilayah regional, kemudian setahap demi setahap berubah menjadi dakwah rasisme sebagaimana terjadi pada Yahudi pada masa Penawanan Babilonia “Al-Asr Al-Babiliy”.

(4) Pengkhususan ulama dalam urusan keagamaan sedangkan dinasti Saud dalam urusan hukum dan kekuasaan merupakan bentuk praktik pemisahan  yang nyata antara dien (agama) dan negara, yang bertentangan dengan sistem Islam, dan tidak jauh berbeda dengan sistem Eropa yang memisahkan antara negara (kekuasaan yang bertanggung jawab mengurusi urusan kehidupan dan dunia) dan gereja yang bertanggung jawab mengurusi urusan rohani dan akhirat. Ini otomatis menyebabkan munculnya kasta bangsa pendeta (ahbar [ulama] dan ruhban [ahli ibadah]) yang tidak dikenal Islam, bahkan ini diingkari dan diperangi Islam. Masalah ini mengingatkan kita kepada kesepakatan antara Imperior Romawi Konstantinopel dengan para uskup Nasrani pada abad keempat Masehi untuk menjadikan agama (urusan akhirat dan rohani) merupakan kekhususan Paus Paulus sebagai pemimpin Nasrani sedangkan kerajaan (urusan dunia) khusus bagi imperior. Di sisi lain semua pemeluk Nasrani masuk di bawah ketaatan imperior dan bergabung dengan pasukannya serta membela singgasananya.

Realitanya, penerimaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –semoga Allah memaafkannya—terhadap syarat-syarat tersebut menurunkan dakwahnya menjadi dakwah pada lingkup regional-rasisme, yang hanya terbatas pada wilayah Nejd; menjadi tunggangan dinasti Saud dan tetap seperti itu sampai sekarang dan sama sekali tidak sukese meraih dukungan mayoritas di negeri Islam mana pun. Dakwahnya menjadi kehilangan –secara maknawi dan praktik—daya terima untuk membebaskan dunia Islam dari kurungan keterbelakangan dan kemunduran dan untuk melindungi negeri-negeri kaum muslimin dari invasi orang-orang kafir penjajah yang bintang mereka naik daun pada masa itu.

Syarat-syarat batil secara syar'i ini –terutama kerajaan warisan—menghalangi keabsahan baiat dan menjadikan baiat ini batil secara syar'i, tidak berpengaruh apa pun. Di samping, keberadaan baiat tersebut hanya bersifat regional dan tidak memperhitungkan kaum muslimin yang lain, sekalipun hanya sekadar nama. Hal itu karena Muhammad bin Saud memang sama sekali belum dibaiat menjadi imam bagi kaum muslimin dalam kapasitas mereka sebagai satu umat.
Lebih besar dan lebih bahaya dari hal itu bahwa baiat tersebut bersamaan dengan adanya amirul mukminin di Istambul pusat dunia Islam. Masalahnya hampir tidak keluar --karena hal itu-- dari salah satu kemungkinan berikut:
Kemungkinan Pertama:

Kesyar’iyyan amirul mukminin tidak sah bagi pihak Dir’iyyah karena kebatilan baiatnya dan tidak terpenuhinya rukun-rukunnya. Ketika itu maka wajib menyebutkan hal itu dan hal-hal yang membolehkannya dan pernyataan atas hal itu dalam baiat Dir’iyyah dan permintaan kaum muslimin untuk mencopot perampas kekuasaan di Istambul dan membaiat Amirul Mukminin atau imam baru. Sepanjang pengetahuan kami sedikit pun dari hal-hal tersebut tidak terjadi. Bahkan para ulama dakwah wahabiyah menegaskan hal yang berbeda dengan hal itu. Lihatlah Syaikh Abdullah Aba Buthain ketika berkomentar mengenai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, “ ... semasa hidupnya ia belum digelari Imam, tidak pula Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Tidak seorang pun dari mereka semasa hidupnya yang dinamakan Imam. Penamaan imam hanya terjadi setelah mereka berdua meninggal dunia. (Ad-Durar As-Saniyyah: 7/240)
Kemungkinan Kedua:

Kesyar’iyyan Daulah Khilafah Utsaminyyah tidak sah karena telah menerapkan hukum kufur atau karena nampaknya kufur bawwah (kekafiran nyata) dan hal tersebut didiamkan saja bahkan malah dikuatkan oleh kekuasaannya. Sehingga negara Islam –daulah khilafah—sebenarnya tidak ada, dan para pengklaimnya yang ada di Istambul tidak bernilai apa-apa. Dan ketika itu maka yang wajib adalah menyebutkan hal itu dengan merinci sebab-sebab yang mengharuskannya disertai bukti-bukti dan dalil-dalilnya, menyatakannya secara terang-terangan pada waktu baiat Dir’iyyah dan mengajak kaum muslimin untuk masuk di bawah ketaatan negara Islam yang baru muncul.

Hanya saja keterangan yang kuat menyebutkan bahwa daulah Utsaminyyah adalah daulah khilafah yang syar'i dan negerinya adalah negeri Islam. Sepanjang pengetahuan kami Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-muridnya yang ternama tidak mempersoalkan fakta sejarah yang kuat ini. Barang siapa yang ingin memindahkan realita dari realita yang sudah dikenal secara meyakinkan maka ia harus mendatangkan bukti atas hal itu. Karena sesuatu yang terbukti secara meyakinkan tidak akan berubah kecuali dengan suatu yang meyakinkan pula (maa tsabata bi yaqiin, laa yazuulu illaa bi yaqiin).

Kemungkinan Ketiga:
Termasuk hal yang masih bersifat dugaan menurut orang-orang yang ikut baiat Dir’iyyah bahwa negeri Nejd benar-benar di luar kekuasaan Amirul Mukminin di Istambul dan diinginkan supaya tunduk kepada sistem Islam dan menbershkannya dari berbagai bid’ah, khurafat dan berbagai kesyirikan serta mendirikan negara independen di dalamnya. Dan ini tidak boleh karena berbilangnya imam dan negara Islam hukumnya tidak boleh.
Sebagaimana pengandaian ini jelas tidak benar di samping usaha-usaha negara Saudi fase pertama untuk melebarkan keuasaannya atas Al-Haramain yang pada saat itu ada di bawah kekuasaan khilafah Utsaminiyah dan atas wilayah-wilayah yang lain yang ada di abwah kekuasaan daulah Utsmaniyyah!

Kemungkinan Keempat:
Seperti kemungkinan ketiga hanya saja bahwa maksudnya adalah menghilangkan syirik, khurafat, kekacauan, dan kezaliman di negeri Nejd, kemudian menggabungkannya ke negara Islam –daulah khilafah di Istambul—setelah dibersihkan. Pada kondisi ini yang wajib adalah menyebutkan hal itu pada baiat Dir’iyyah sehingga pihak-pihak yang ikut baiat komitmen dengannya dan Amirul Mukiminin di Istambul mengetahuinya dan memberitahukan bahwa negeri Nejd sedang dibersihkan dan akan masuk bersama jamaah kaum muslimin di bawah kekuasaan khalifah. Sehingga tidak dibutuhkan perang melawan daulah khilafah, pertumpahan darah yang mahal yang tertumpah setelah itu, serta kehancuran dan kebinasaan yang menimpa negara Saudi pase pertama. Dan ini perkara yang mungkin dan mudah bagi para pencari akhirat dari kalangan yang sadar dan ikhlas. Kami berharap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab termasuk dari mereka, kami tidak menyucikan seorang pun atas nama Allah. Dan benar, tidak selang lama setelah itu Emir Faishal bin Turkiy –dari negara Saudi fase kedua—telah melakukannya.

Korespondensi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, demikian pula para Emir negara Saudi fase pertama, kepada para tokoh Mekah dan kepada para khalifah di Istambul menunjukkan bahwa mereka mengakui kesyar’iyyan mereka dan bahwa kekuasaan mereka syar'i. Dalam risalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada Syarif Ahmad tercantum: [Kepada paduka –semoga Allah melanggengkan karunia nikmat-nikmat-Nya kepada paduka—Yang Mulia Syarif Ahmad bin Syarif Sa’ad –semoga Allah memuliakannya di dunia akhirat dan semoga dengannya Allah memuliakan agama kakeknya, penghulu jin dan manusia, bahwa ketika surat telah sampai kepada Al-Khadim dan merenungkan untaian kalimat bagus di dalamnya, ia mengangkat kedua tangannya berdoa kepada Allah mendukung Asy-Syarif karena maksudnya adalah menolong syariat Muhammad dan orang-orang yang mengikutinya dan memusuhi orang-orang yang keluar darinya. Inilah kewajiban pemimpin (waliyyul amri).]

Kemudian melanjutkan: [Jika Allah Ta'ala telah mengambil perjanjian kepada para nabi bila mereka menjumpai Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mereka harus beriman kepada beliau dan membela beliau, maka bagaimana kita sebagai umatnya? Kita harus beriman kepada beliau dan membela beliau. Tidak cukup hanya salah satunya saja. Orang yang paling berhak dan utama adalah ahlul bait yang dari merekalah Allah mengutus beliau dan dengan beliaulah Allah memuliakan mereka. Ahlul bait yang paling berhak mendapatkan semua itu adalah keturunan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Selain itu Asy-Syarif –semoga Allah memuliakannya- mengetahui bahwa para pembantumu adalah pelayanmu. Kemudian, semoga Anda selalu dalam penjagaan dan pemeliharaan Allah.] Hayatu Muhammad bin Abdul Wahhab (Kehidupan Muhammad bin Abdul Wahhab) halaman 322.

Sebagaimana Emir Abdullah bin Saud bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Saud menulis surat kepada khalifah Utsmaniy kedua Sultan Muhammad Al-Ghazi: [... Tuan kami Sultan Mahmud Al-Ghazi, saya mengajukan permohonan ini dengan penuh kerendahan hati. Yaitu ketika hambamu ini menjadi bagian dari kaum muslimin yang tidak terlepas dari syarat-syarat Islam –yang itu adalah meninggikan kalimat syahadat, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, haji ke Baitullah Al-Haram, mencegah orang-orang zahalim dari membahayakan orang lain dan menahan kezaliman mereka.]

Kemudian setelah itu ia melanjutkan memaparkan kebohongan-kebohongan yang dibuat oleh beberapa tokoh atas namanya dan usaha mereka untuk memerangi sultan dan bahwa mereka memalsukan permohonan atas nama bapaknya Emir Saud bin Abdul Aziz yang  mengumumkan ketidaktaatannya dan menghalangi para jamaah haji. Kemudian ia melanjutkan: “ ... Secara umum, setiap apa yang dinisbatkan kepada hambamu berupa perbuatan aniaya dan keluar (memberontak) semuanya muncul dari tipu daya Asy-Syarif tersebut ...”. Kemudian ia mengakhiri perkataannya: “Saya ajukan permohonanku ini yang lebih masyhur daripada perumpamaan yang sedang ngetrend, yang membenarkan kejujuranku bahwa saya tidak akan pernah melepaskan dari ketaatan kepada paduka dan saya akan tetap menjadi hambamu yang selalu melaksanakan semua pekerjaan untuk membantu negara tertinggi. Ini menjadi bukti pasti yang menjadi saksi adanya doa-doa yang dilantunkan pada peringatan hari-hari besar, forum-forum, mimbar-mimbar supaya umur dan negara Anda terus eksis.”

Silakan rujuk semua keterangan ini kepada kitab Ad-Daulah As-Sa’udiyyah Al-Uula (Negara Saudi Fase Pertama) karya Abdurrahim Al-‘Abd Ar-Rahim halaman 392 dan setelahnya.

Sebagian aktivis Islam masa kini semisal Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq dalam kitabnya Fushul minas Siyasah Asy-Syar’iyyah fid Da’wah ilallaah (Pasal-pasal tentang Politik Syar'i dalam Berdakwah kepada Allah) berusaha membela negara Saudi fase pertama dan menggolongkan perang yang terjadi antara para tokoh Mekah dengan  Muhammad Ali –gubernur daulah Utsmaniyyah di Mesir—adalah termasuk perang untuk membela diri. Klaim ini berangkat dari anggapan syar’inya negara Saudi fase pertama. Padahal klaim ini tidak bisa diterima –sebagaimana kami jelaskan--.
Apabila negara Saudi fase pertama –dari sisi keberadaannya—tidak syar'i, maka wajib menghilangkannya dan ia tidak berhak untuk membela diri. Kondisi semacam ini sama dengan orang yang merampas tanah dan mendirikan rumah di atasnya kemudian tidak mau keluar dari tanah tersebut dan menghalangi usaha penggusurannya meski hukum dari pengadilan syar'i telah dijatuhkan. Atau, sama dengan orang yang tidak mau menyerahkan zakat kepada amir yang syar'i. Mereka semua orang-orang yang melanggar hak sejak awal dan boleh memerangi mereka dan memaksa mereka dengan kekuatan untuk komitmen dengan hukum syar'i. Mereka tidak berhak membela diri. Karena dalam kondisi itu sama dengan membela kezaliman dan penyimpangan syar'i. Oleh karena itu para fuqaha masa itu menghukumi –dengan hukum yang benar—bahwa negara Saudi fase pertama sebagai negara khawarij. Apalagi sudah terkenal bahwa ia mengkafirkan orang-orang muslim awam dan memerangi mereka sama dengan memerangi orang-orang kafir, mengambil harta benda mereka sebagai ghanimah, dan menawan para wanita mereka, sebagaimana dijelaskan secara rinci dalam kitab Ibnu Bisyr ‘Unwanul Majd fi Tarikh Najd dan kitab Ibnu Ghanam (Tarikh Najd)!

Oleh karena itu mereka berfatwa bolehnya memeranginya dengan cara syar'i dalam memerangi kelompok khawarij dan semisalnya, sebagaimana dinyatakan Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyah-nya misalnya!!

Seandainya kita menerima kesyar’iyan negara Saudi fase pertama maka jalan keluar ‘membela diri’ perlu kajian mendalam pada dokumen-dokumen sejarah untuk membuktinnya. Namun yang dipersoalkan adalah usaha negara Saudi menancapkan pengaruhnya atas Iraq dan Syam. Padahal wilayah Syam ini sampai ke tepian daerah Halab. Apa kaitan ini dengan ‘membela diri’ atau dengan berbagai konspirasi dan makar Syarif?!

Sebagaimana yang dipersoalkan adalah adanya hubungan-hubungan mencurigakan antara negara Saudi fase pertama sejak akhir masa Emir Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud dengan penguasa-penguasa Inggris di India di mana penguasa Inggris inilah yang menjadi penyuplai utama senjata negara Saudi fase pertama. Sebagaimana yang dipersoalkan adalah bahwa perang-perang negara Saudi fase pertama seluruhnya pada akhirnya untuk kepentingan Inggris, di mana kebanyakan pemerintahan teluk jatuh di bawah penjajahan Inggris dan terjadi pelemahan daulah Utsmaniyah sampai taraf yang menjatuhkannya dari tingkatan negara yang pertama dalam sikap Eropa kemudian sampai kejatuhannya setelah itu. Barang siapa yang ingin mengetahui lebih jauh silakan merujuk kepada kitab yang berjudul Hubungan Negara Saudi fase pertama dengan Inggris (‘Alaqatud Daulah As-Sa’udiyyah Al-Uula bi Brithaniya) karya Dr. Muhammad bin Abdullah As-Salman. Demikian pula kitab Konflik Para Emir: Hubungan Nejd dengan Kekuatan Politik di Teluk Arab, Study Dokumentatif (Shiraa’ul Umaraa’: ‘Alaqatu Najd bil Quwaa As-Siyasiyyah fil Khaliij Al-‘Arabiy, Dirasah Watsaiqiyyah) karya Abdul Aziz Abdul Ghaniy Ibrahim.

Ditambah bahwa termasuk sikap adil dan obyektif menuntut untuk memberikan catatan atas beberapa perkara penting. Di antaranya:

(1) Tidak ada sedikit pun keraguan mengenai keikhlasan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan kebersihannya dari hubungan apa pun dengan orang-orang kafir. Tidak benar apa yang disebarkan sebagian orang dalam hal ini. Adapun kitab yang berjudul Pengakuan-pengakuan Mata-mata Inggris (I’tiraafaat Al-Jaasuus Al-Brithaniy) adalah kitab palsu yang tidak ada asalnya, di mana pemalsunya salah ketika mengaitkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan berbagai peristiwa yang terjadi jauh setelah wafatnya. Kitab dan kisah-kisah yang terkandung di dalamnya dusta dan palsu yang tidak ada hubungannya dengan fakta-fakta sejarah.

(2) Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Emir sebenarnya sepanjang masa kekuasaan Emir Muhammad bin Saud dan awal masa kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad. Dialah yang mempersiapkan pasukan dan mengirimkan utusan-utusan. Di akhir masa kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengundurkan diri dari kehidupan umum (publik). Para sejarawan dinasti Saud menjustifikasi sikap tersebut dengan kesibukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk berkonsentrasi beribadah!! Hanya saja, kejadian yang benar yang diceritakan kepadaku secara pribadi oleh Fadhilah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah beberapa tahun sebelum wafatnya –menukilkan dari orang tua dan para kakeknya dari keluarga Alu Syaikh-- adalah bahwa sebab pengunduran diri Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ialah perbedaan pendapat yang terjadi antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Emir Abdul Aziz bin Muhammad! Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Hasan Alu Syaikh meyakini bahwa sebab perbedaan pendapat itu adalah bahwa Emir Abdul Aziz bin Muhammad tidak menghargai posisi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan tidak menghormatinya dengan penghormatan yang pantas. Namun menurutku ada dugaan kuat bahwa sebab perbedaan pendapat yang sebenarnya adalah pengingkaran Syaikh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kebijakan Abdul Aziz bin Muhammad yang mulai mendekati Inggris dan selanjutnya bisa menjadi bahaya besar atas asas aqidah negara dan akan mengancam keruntuhan asas syar'i wala (loyalitas) dan bara’ (anti loyalitas)-nya

(3) Yang paling rajih: hal-hal yang mendorong Emir Abdul Aziz bin Muhammad dan anaknya Saud bin Abdul Aziz bin Muhammad melakukan pendekatan kepada Inggris pada masa itu adalah dalam rangka pendekatan kepada kekuatan internasional yang membuatnya menjadi seimbang untuk menghadapi kekuatan khilafah Utsmaniyah. Dan hal itu disertai adanya faktor-faktor pendorong berupa cinta kerajaan (kekuasaan), kepemimpinan, dan syahwat kekuasaan. Meski itu merupakan kejahatan yang buruk, hanya saja itu sama sekali tidak mungkin dibandingkan  dengan sikap hina menjadi boneka dan sikap berkhianat yang sangat nyata yang dilakukan pendiri negara Saudi fase ketiga –Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman Alu Faishal Alu Saud dalam hubungannya dengan Inggris.

Ini dari sisi sejarah. Adapun dari sisi syar'i, kesyar’iyan negara Saudi fase pertama tidak sah dari seluruh sisinya. Karena keberadaannya dan proses lahirnya penuh dengan cacat. Ia lahir dari proses keluar atas (memberontak) khilafah syar'i di Istambul. Sehingga ia memecah belah jamaah kaum muslimin dan mencabik-cabik persatuan mereka serta melemahkan jamaah mereka. Hal itu di samping karena sistem hukumnya mengandung banyak penyimpangan syar'i yang sudah disebutkan di atas.

Ya, negara Saudi fase kedua –di bawah kepemimpinan Faishal bin Turkiy—berusaha menghalangi bantuan Inggris Kafir atas Teluk dan masuk di bahwa payung khilafah di Istambul. Namun kesempatan sejarah yang disia-siakan negara Saudi fase pertama tidak bisa kembali lagi. Karena khilafah sudah mulai tenggelam, negara Saudi fase kedua sudah hilang, sementara seluruh dunia Islam sudah ada di bawah penjajahan secara langsung. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

Muhammad Jalal Kasyk dalam kitabnya Penduduk Saudi dan Solusi Islam (As-Sa’udiyyuun wal Hill Al-Islamiy) berusaha menjustifikasi kesalahan yang dilakukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan menamakan kesalahannya sebagai sikap fleksibel dan bertahap dalam menerapkan Islam dan nama-nama lainnya yang sesuai dengan madzhab dan pandangan penulis yang batil.

Namun realita sejarah dan akhir menyakitkan negara Saudi fase pertama ketika tenggelam dalam lautan darah menjadi pelajaran praktis bagi setiap pengemban dakwah Islam untuk tidak melakukan tawar menawar atau mudahanah dalam urusan aqidah dan hukum Islam. Yang mana tawar menawar dan mudahanah –sebelum dan di luar ini—merupakan penyimpangan meyakinkan terhadap hukum-hukum syar'i yang mengharamkan berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan sekalipun hanya dalam satu masalah.

Itu juga sebagai bentuk pencampakkan dan keberpalingan dari petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam cara mengemban dakwah dan konflik aqidah dan pemikiran serta perlawanan politik untuk mendirikan negara.
Ia adalah pelajaran praktis, demikian pula pelajaran agar jangan terjatuh dalam kesalahn fatal yang mengakibatkan terbunuhnya banyak orang, yaitu kesalahan penerapan Islam secara bertahap yang dimulai dengan mendiamkan kekafiran nyata dan berakhir dengan kehancuran dan kebinasaan serta jatuh di bawah penjajahan militer, tidak adanya kedaulatan yang mandiri, sebagaimana kondisi dinasti Saud sekarang ini, yang mereka tunduk di bawah penjajahan Amerika terhadap Jazirah Arab.

Lahiriahnya, pelajaran-pelajaran ini tidak dipahami oleh kebanyakan kaum muslimin. Lihatlah, jamaah Islam terbesar jatuh dalam Pemilu Yordan, ikut serta dalam hukum thaghut, berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, yang merupakan induk dan pokok persoalan. Kemudian menarik diri dari pemerintahan disebabkan ‘perdamaian’ dengan Israel, yang ini merupakan persoalan cabang. Masih saja ia berputar-putar dan berkutat di sana. Hasil akhirnya adalah ia meneguhkan rezim kafir Yordan dan semakin menambahkan kesyar’iyannya, menguatkannya untuk semakin berkhianat, yang mereka namakan ‘perdamaian’ dengan musuh. Padahal Islam tidak berkuasa dan Palestina pun tidak terbebaskan! Di Aljazair Front Penyelamatan (Jabhatul Inqadz) terjatuh dalam kesalahan yang sama, sekalipun lebih ringan bobotnya. Lihatlah Najmuddin Erbakan yang melakukan kesalahan yang lebih parah dan buruk. Ia berjalan terhuyung-huyung dekat dengan ‘batasan’ Islam namun juga tidak jauh dari kekafiran dan kemurtadan. Wal ‘iyyaadzubillaah. Ia melakukan itu tanpa manfaat dan hasil!

Jalan kebenaran adalah komitmen dengan manhaj Nabawi (jalan Nabi) dan mengikuti wahyu dengan sempurna –dalam segala aspeknya—tanpa mengganti apa pun, tidak pula sedikit pun mudahanah, dan sabar di atasnya sampai Allah memberi keputusan:
وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَاصْبِرْ حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ
“Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Yunus [10]: 109)


[1] Dari kitab Al-Adillah Al-Qath’iyyah ‘ala Kufri Ad-Duwailah As-Sa’udiyyah (Dalil-dalil Qath’i Kafirnya Negara Saudi) karya Syaikh Mas’ariy
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Our Topics

Translate Blog

Google Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Ideologis - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya