Kapan Ghibah Diperbolehkan? ( DARI KITAB RIYADUSH-SHALIHIN IMAM AN NAWI ) - Catatan Ideologis
Headlines News :
Home » » Kapan Ghibah Diperbolehkan? ( DARI KITAB RIYADUSH-SHALIHIN IMAM AN NAWI )

Kapan Ghibah Diperbolehkan? ( DARI KITAB RIYADUSH-SHALIHIN IMAM AN NAWI )

Written By REVIEW HERBAL DAN KOSMETIK on Senin, 03 Januari 2011 | 13.50



Bismillahirahmanirahiim


Ghibah adalah penyakit hati yang memakan kebaikan mendatangkan keburukan serta membuang waktu secara sia_sia


Hakikat Ghibah adalah membicarakan orang lain dengan sesuatu yang ( seandainya orang tersebut mendengarnya ) tidak disukainya. Ghibah dalam bahasa Indonesia biasanya disamakan dengan menggunjing, yaitu aktivitas membicarakan aib orang lain. Pada asalnya hukum ghibah adalah haram, kecuali pada kondisi tertentu yang diperbolehkan oleh syara'


Tulisan berikut mencoba memaparkan kondisi-kondisi tertentu dimana Ghibah boleh dilakukan, sesuai dengan penjelasan di dalam kitab Riyadhush Shalihin karya Imam An Nawiy


Ketahuilah bahwa Ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang sah menurut syari’at, di mana ada suatu keperluan yang tidak dapat tercapai kecuali dengan melakukan ghibah tersebut. Ada enam kondisi yang membolehkan ghibah dilakukan:


Pertama, mengadukan kezhaliman ( At-tazhallum ). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan, misalnya dengan mengatakan Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu


Kedua, permintaan bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiyat pada kebenaran ( Al isti’ânah ‘ala taghyîril munkar wa raddal ‘âshi ila ash shawâb ). Maka seseorang boleh menyampaikan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan kemungkaran tersebut dengan mengatakan Si Fulan telah berbuat begini, hingga selamatlah orang tersebut dari kemaksiyatan atau kemungkaran. Ataupun dengan pernyataan lain yang sejenis dengan itu, yang jelas maksudnya adalah mengarah kepada terhilangkannya suatu kemungkaran. Tapi jika tidak mengarah kepada hal semacam ini, maka tersebut adalah haram


Ketiga, permintaan fatwa ( Al istiftâ`). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti ( pemberi fatwa ), ayahku (atau saudaraku atau suamiku atau fulan) telah menzhalimi aku dengan cara begini. Lalu apa yang harus aku perbuat padanya? Bagaimana cara agar aku terlepas darinya, mendapatkan hakku, dan terlindung dari kezhaliman itu? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan


Tapi lebih tepat dan lebih afdhal jika ia mengatakan, bagaimana pendapat Anda tentang orang atau seseorang, atau seorang suami yang telah memperbuat hal seperti ini? Maka ini dapat membuatnya mencapai hasil ( jawaban ) tanpa harus menyebutkan rinciannya (tanpa perlu menyebut siapa orangnya, red). Meskipun demikian, tetap diperbolehkan untuk melakukan rincian ( At ta’yîn ), sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam hadits dari Hindun nanti. Insya Allah


Keempat, memperingatkan kaum muslimin agar waspada terhadap suatu keburukan dan menasihati mereka ( Tahdzîrul muslimîn min asy syarr wa nashîhatuhum ). Ini ada beberapa bentuk, diantaranya adalah menyebutkan keburukan sifat orang yang memang pantas disebutkan keburukannya ( jarhul majrûhîn ) yakni dari kalangan para perawi hadits dan saksi-saksi ( di pengadilan, red ). Hal ini diperbolehkan menurut ijma’ kaum muslimin. Bahkan bisa menjadi wajib untuk suatu keperluan tertentu


Contoh lainnya adalah meminta masukan atau pendapat ( musyawarah ) tentang rencana melakukan pernikahan dengan seseorang ( mushâharah ), kerjasama, memutuskan kerjasama, mua’amalat dan lain sebagainya, atau tentang hubungan ketetanggaan. Maka wajib bagi orang yang dimintai masukan untuk tidak menyembunyikan informasi seputar orang yang ingin diketahui keadaan dirinya. Bahkan ia mesti menyebutkan perangai-perangai buruknya yang memang diniatkan untuk melakukan nasehat


Contoh lainnya lagi adalah jika seseorang melihat orang lain yang belajar agama yang berulang kali datang kepada orang yang berbuat bid’ah atau orang fasik dengan maksud mengambil ilmu dari pelaku bid’ah dan orang fasik tersebut, lalu dengan itu dikhawatirkan ia akan mendapat madharat, maka ia harus menasehatinya dan memberikan penjelasan mengenai keadaan sebenarnya. Dengan syarat hal itu betul-betul dimaksudkan untuk memberi nasehat. Ini memang berpotensi untuk terjadi kekeliruan, sebab terkadang si pemberi nasehat memiliki tendensi kedengkian, hingga syaithan mencampuradukkan antara nasehat dengan kedengkian itu


Syaithan menghadirkan bayangan padanya bahwa hal itu adalah nasehat, akhirnya ia terjerumus dalam fitnah. Yang juga termasuk dalam point ini adalah bahwa ia memiliki kekuasaan yang tidak ia tegakkan dengan semestinya. Boleh jadi karena memang ia tidak layak. Atau boleh jadi karena ia fasiq maupun lalai, atau yang sejenis dengan itu. Maka wajib hal itu diungkapkan kepada orang yang memiliki kewenangan lebih tinggi di atasnya agar kelalaian itu dihilangkan atau orangnya diganti dengan yang lebih kompeten. Atau diinformasikan mengenai apa saja agar pemilik otoritas yang lebih tinggi dapat mengambil treatment sesuai tuntutan keadaan orang yang lalai tersebut. Ia tidak boleh lengah. Ia harus berusaha untuk mendorongnya agar istiqamah atau menggantinya




Kelima, seseorang memperlihatkan secara terang-terangan ( Al- mujâhir ) kefasiqan atau perilaku bid’ahnya sebagaimana orang yang yang memperlihatkan perbuatan minum khamr, menyita, mengambil upeti, pengumpulan harta secara zhalim, memimpin dengan sistem yang bathil. Maka ini boleh untuk disebutkan dikarenakan perbuatan itupun dilakukan terang-terangan ( mujâharah ). Adapun hal-hal lain yang merupakan aib yang disembunyikan tidak boleh turut disebut-sebut, kecuali adanya kebolehan yang disebabkan oleh alasan yang telah kami sebutkan pada empat point sebelumnya


Keenam, penyebutan nama ( At-ta’rîf ). Jika seseorang telah dikenal luas dengan nama laqab ( julukan ) seperti al-A’masy ( Si Kabur Penglihatannya ) atau al-A’raj ( Si Pincang ), atau al- Ashamm ( Si Tuli ), al-A’maa ( Si Buta ), al-Ahwal ( Si Juling ), dan lain sebagainya maka boleh menyebut nama mereka dengan sebutan itu. Dan diharamkan menyebutkan sisi kekurangannya yang lain. Maka, jika memungkinkan untuk menyebutkan namanya selain dengan menggunakan julukan seperti itu, maka tentu lebih diutamakan. Inilah enam sebab yang disebutkan oleh para ulama dan sebagian besarnya mereka sepekati


Adapun dalil-dalilnya adalah dari hadits-hadits shahih yang masyhur, diantaranya adalah:


عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم فقال: “ائذنوا له، بئس أخو العشيرة؟ ” ((متفق عليه))


Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa seseorang meminta izin pada Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam, lalu beliau berkata: izinkanlah ia, seburuk-buruk saudara suatu kabilah. ( Muttafaq Alaih )


Al Bukhari berhujjah dengan hadits ini mengenai kebolehan berghibah terhadap ahlul fasad ( pembuat kerusakan ) dan ahlu ar rayb ( menciptakan keraguan )


وعنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ”ما أظن فلانًا وفلانًا يعرفان من ديننا شيئًا” ((رواه البخاري)). قال الليث بن سعد أحد رواة هذا الحديث: هذان الرجلان كانا من المنافقين


Dan masih dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda, aku melihat si fulan dan si fulan tidaklah mengetahui sedikitpun dari perkara agama kami ( HR al Bukhari )


Al Layts ibn Sa’ad—salah seorang perawi hadits ini—berkata: Kedua orang yang disebut di sini adalah orang munafiq


وعن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت: إن أبا الجهم ومعاوية خطباني؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:”أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه” ((متفق عليه))


Dari Fathimah binti Qays radhiallahu anha, ia berkata: Aku mendatangi Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam lalu aku berkata, sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah mengkhitbahku. Lalu Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam berkata, adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. ( Muttafaq alaih )


Dan dalam riwayat Muslim, haditsnya berbunyi:”وأما أبو الجهم فضراب للنساء”


Adapun Abul Jahm ia suka memukul wanita. Ini merupakan penjelasan dari riwayat sebelumnya yang mengatakan ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Juga dikatakan bahwa makna ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya adalah katsiirul asfaar, yakni banyak bepergian


وعن زيد بن أرقم رضي الله عنه قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر أصاب الناس فيه شدة، فقال عبد الله بن أبي: لا تنفقوا على من عند رسول الله حتى ينفضوا وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد الله بن أبي ، فاجتهد يمينه: ما فعل، فقالوا: كذب زيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فوقع في نفسي مما قالوا شدة حتى أنزل الله تعالى تصديقي {إذا جاءك المنافقون} ثم دعاهم النبي صلى الله عليه وسلم، ليستغفر لهم فلووا رءوسهم. ((متفق عليه))


Dari Zaid bin Arqam radhiallahu anhum, ia berkata: Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan di mana orang-orang ditimpa kesulitan. Lalu Abdullah bin Ubay berkata, jangan engkau memberi infaq kepada orang-orang yang bersama Rasulullah supaya mereka bubar. Lalu ia berkata lagi, “sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya”


Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam, lalu aku mengemukakan hal tadi, maka beliau mengutus kepada Abdullah bin Ubay, namun ia bersumpah bahwa ia tidak melakukannya. Lalu orang-orang mengatakan, “Zaid telah membohongi Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam”. Lalu beliau mencelaku dengan keras atas apa yang orang-orang katakan hingga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menurunkan apa yang dapat membenarkanku {إذا جاءك المنافقون} “apa bila datang orang-orang munafiq” ( QS Al Munaafiquun )


Kemudian Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam memanggil mereka untuk memintakan ampun bagi mereka, tapi mereka memalingkan wajah mereka ( Muttafaq alaih )


وعن عائشة رضي الله عنها قالت: قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صلى الله عليه وسلم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه، وهو لا يعلم؟ قال: ”خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف” ((متفق عليه))


Dari Aisyah radhiallahu anha, ia berkata: Hindun istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit, ia tidak memberikan kepadaku apa yang mencukupi aku dan anakku kecuali apa yang aku ambil secara diam-diam tanpa sepengetahuannya”. Lalu Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam berkata “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik ( bil ma’ruf )” ( Muttafaq Alaih )


Diposkan oleh

Faizatul Rosyidah



 ·  · Bagikan
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Our Topics

Translate Blog

Google Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Ideologis - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya