Meluruskan Pemahaman Qadha dan Qadar
(ringkasan Bab Qadha dan Qadar kitab Nizhamul Islam – Syaikh Taqiyuddin An Nabhani)
Pembahasan Qadha dan Qadar, secara khusus telah dibahas oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam satu bab tersendiri, yaitu Qadha dan Qadar dalam kitab Nizhamul Islam. Pembahasan ini sengaja diberikan ruang khusus, karena Syaikh Taqiyuddin An Nabhani ingin menempatkan sesuai dengan proporsinya. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani tidak ingin terjebak dalam pembahasan yang melelahkan dan terjebak dalam diskusi yang tidak produktif sebagaimana yang dilakukan para mutakallimin (ahli kalam), termasuk Jabbariyah, Muktazilah, dan Ahlussunnah (versi Abu Hasan Al Asy’ari).
Secara fundamental, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani telah meletakkan suatu paradigma baru dalam pembahasan Qadha-Qadar, yaitu membahas perbuatan manusia secara relevan (kaitannya) dengan pahala dan dosa. Atau dengan kata lain, pembahasan ini berkaitan dengan hukum perbuatan manusia. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani tidak meletakkan pembahasan Qadha dan Qadar sebagaimana paradigma mutakallimin, dimana mereka meletakkan pembahasan Qadha dan Qadar tetapi tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Para mutakallimin melakukan kesalahan dengan melakukan pembahasan Qadha dan Qadar, tetapi dikaitkan dengan ‘penciptaan’ perbuatan manusia (khalqul af’al) dan tertulisnya perbuatan manusia dalam Lauhul Mahfuzh.
Contoh:
Kalau seorang koruptor ditanya, “Mengapa kamu korupsi?” tentu si penanya akan pusing jika si pencuri menjawab, “Saya korupsi karena perbuatan saya ini sudah ditetapkan Allah dalam Lauhul Mahfuzh.” Atau koruptor itu akan menjawab begini, “Saya korupsi, karena perbuatan saya ini merupakan takdir Allah atas saya.”
Contoh lain:
Seseorang telah menjual tambang minyak bumi milik rakyat kepada pihak asing, sehingga rakyat banyak yang kesusahan dikarenakan mahalnya biaya untuk mendapatkan minyak. Lalu ditanyakan kepada orang tersebut, “Mengapa Anda menjual tambang minyak milik rakyat itu kepada pihak asing?” Lalu orang tersebut berkata, “Saya berbuat seperti ini karena sudah menjadi takdir bagi saya untuk berbuat begini.”
Jika hal ini dibahas, yaitu tentang ‘siapa yang menciptakan perbuatan manusia’ tentu tidak akan terpecahkan secara memuaskan dan tidak akan selesai. Pembahasan hal seperti ini, sama persis dengan pembahasan Qadha dan Qadar yang dilakukan oleh mutakallimin. Mereka berdebat habis tentang ‘siapa yang menciptakan perbuatan manusia’ dan ‘tertulisnya perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh’.
Karena itulah, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani tidak menjadikan masalah ‘tertulisnya perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh’ atau ‘siapa yang menciptakan perbuatan manusia’ sebagai asas (dasar) pembahasan Qadha dan Qadar. Alasannya, hal itu tidak berhubungan dengan ‘pahala dan dosa’ atau ‘halal dan haram’ bagi manusia. Jadi, harus dicari paradigma (asas) baru yang relevan (nyambung) dengan pahala dan dosa. Apa itu? Yaitu: Perbuatan manusia itu sendiri!
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani kemudian melakukan pengkajian yang mendalam tentang fakta perbuatan manusia dari segi: apakah manusia itu dipaksa untuk berbuat (musayyar) atau diberi kebebasan untuk memilih perbuatan (mukhayyar). Dan setelah dikaji secara mendalam, ternyata ada dua jenis perbuatan manusia:
Pertama:
Adakalanya perbuatan itu musayyar (dipaksa), misalnya manusa tidak bisa terbang dengan tubuhnya sendiri, manusia mengalami suatu kecelakaan di luar kuasanya, dan sebagainya. Segala perbuatan atau fakta saat manusia berstatus musayyar inilah yang (oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani) disebut dengan Qadha. Yang menetapkan Qadha adalah Allah, dan manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang hal ini. Tidak ada hitungan pahala dan dosa, atau halal-haram dalam masalah ini.
Kedua:
Adakalanya manusia bebas memilih perbuatan (mukhayyar). Misalnya, makan nasi, minum khamr, mencari nafkah dengan jalan korupsi, bekerja sebagai petani, bekerja sebagai kaki tangan penjajah, dan lain-lain sesuai dengan kehendak atau pilihannya sendiri. Di sinilah manusia memanfaatkan Qadar, yaitu karakter khusus yang melekat pada segala sesuatu. Misalnya, api yang memiliki karakter membakar. Tetapi manusia mau menggunakannya untuk membakar sate atau membakar jasad manusia, itu pilihan manusia. Contoh lain, manusia memiliki kecerdasan. Manusia mau memanfaatkan kecerdasannya itu untuk berpihak kepada orang Islam atau orang kafir, itu pilihan manusia. Dalam konteks mukhayyar ini, manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Yang menetapkan Qadar hanya Allah semata. Api memiliki karakter panas, itu hak Allah. Manusia memiliki kecerdasan, itu juga karena pemberian Allah. Tetapi dalam hal pemanfaatannya, manusia tetap akan dimintai pertanggungjawaban. Tetap akan ada hitungan pahala dan dosa.
Oleh karena itu, berdasarkan hal tersebut, koruptor tadi harus tetap dihukum, sekalipun dia berkeyakinan bahwa perbuatannya tersebut tertulis dalam Lauhul Mahfuzh. Sebab, yang ia pertanggungjawabkan adalah perbuatan korupsinya (korupsi merupakan perbuatan dosa), bukan keyakinannya itu. Sebab, keyakinannya itu tidak ada hubungannya dengan pahala dan dosa atau halal dan haram.
Kita akan mengatakan kepada koruptor itu, “Silahkan saja kamu yakin bahwa perbuatan kamu tertulis di Lauhul Mahfuzh, tetapi kamu harus tetap dihukum, karena kamu telah berdosa melanggar larangan Allah dan Allah tidak pernah memaksamu melakukan korupsi.”
Berdasarkan pemahaman tersebut, paradigma (asas) baru dalam pembahasan Qadha dan Qadar yang digagas Syaikh Taqiyuddin An Nabhani sangatlah fundamental, karena dapat menghilangkan kesamaran seputar masalah Qadha dan Qadar.
Insya Allah, dengan modal seperti ini, kita tidak akan dibingungkan lagi dengan pertanyaan: perbuatan saya ini sudah ditakdirkan Allah atau tidak ya?
Semua kembali pada hukum perbuatan kita, apakah halal ataukah haram.
source :http://www.facebook.com/photo.php?fbid=118694501609828&set=a.108492069296738.18080.100004078364478&type=1&relevant_count=1
sip..penjelasan yang cukup memuaskan.
BalasHapusMantap... Sangat jelas
BalasHapusSingkat padat jelas
BalasHapusSyukron penjelasany .jelas dan dapat kami fahami
BalasHapus