haruskah aku berpura-pura
Ramadhan,
haruskah aku berpura-pura merindukanmu; Sementara di setiap
kedatanganmu, kaki-kaki kesadaranku masih terus melekat ditarik
gravitasi-gravitasi nafsu? Sungguh-sungguhkah aku menyambutmu, atau
sekadar rutinitas seremonial gegap gempita yang kering dari makna?
“Marhaban yâ Ramadhan,” ujarku, tanpa sungguh-sungguh mengerti apa
artinya kedatanganmu di pintu rumahku. Lalu aku akan mereka kata-kata
untuk mengirim SMS, atau tweet, atau e-mail, atau broadcast message
berisi permintaan maaf kepada teman-temanku, seolah menghayati
kesucianmu: Sesungguhnya hanya pencitraan yang mengharapkan
pujian-pujian.
“Puasa adalah medan ujian untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan dengan menahan hawa nafsu.” Aku membaca kalimat
itu dalam spanduk di sebuah pusat perbelanjaan. “Selamat Menunaikan
Ibadah Puasa Ramadhan 1433 H,” katanya. Tapi aku segera melupakannya,
dibutakan potongan harga yang sesungguhnya pura-pura, memborong
bahan-bahan makanan secara rakus dan berlebihan. Lalu aku mencari
perlengkapan ibadah baru, juga mushaf al-Quran baru: Sebab yang lama
telah usang dan berdebu buku. Oh al-Quran, oh baju takwa, oh sajadah, oh
ustad-ustad berwajah tampan, kemana saja kalian di luar bulan Ramadhan?
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kedatanganmu, Ramadhan, masih
terus membuatku bertanya-tanya: Mengapa tema-tema ceramah para ustad
masih terus saja sama, kecuali make-up mereka yang makin tebal dan
pakaian mereka yang makin mengilap? Berapa bayaran mereka sekali tampil
dalam iklan dan acara televisi? Setiap tahun aku menonton dan
mendengarkan mereka, mengapa selalu tak berhasil mengubah ulat-ulat dosa
dalam diriku menjadi kupu-kupu takwa? Oh para ustad, oh para ulama, oh
kesejukan agama, kemana saja kalian di luar bulan puasa?
Ramadhan, memang seharusnya aku tak menyalahkan siapa-siapa: Akulah diri
yang bebal dan kepala batu. Maka selamat datang, Ramadhan: Selamat
datang iklan sirup Marjan. Selamat datang iklan Promag. Selamat datang
Om Deddy Mizwar. Selamat datang kolak dan acar bawang. Selamat datang
perdebatan NU dan Muhammadiyah. Selamat datang acara-acara sahur penuh
hadiah dan hiburan. Selamat datang diskon-diskon yang menggiurkan. Ah,
betapa aku merindukan kalian!
Demikianlah aku merindukanmu,
Ramadhan. Demikianlah aku mencintaimu—dengan caraku yang tak tahu malu.
Terima kasih telah selalu menyediakan siang terik bermiliar pahala.
Terima kasih telah selalu membentangkan malam doa yang meluas angkasa.
Terima kasih telah selalu menjadi bulan seribu bulan—yang membuatmu tak
pernah selesai kami hitung untuk menentukan malam permulaan dan
penghabisan. Terima kasih telah selalu datang dan pergi dengan senang
hati, tanpa mempedulikan kemunafikan, kemaksiatan, dan kebebalan kami.
Barangkali suatu saat nanti, Ramadhan, jika hilal-mu sudah benar-benar
tampak di langit hatiku, aku tak perlu menghisab dan memperdebatkan
apapun: Sebab aku tak lagi punya pintu untuk menyambut kedatanganmu.
Jika saat itu tiba, maka masuklah, masukilah diriku dengan keseluruhan
dirimu, aku akan mendekapmu selalu—dengan penuh keharuan dan
kerinduan...
-Fahd Djibran
source : http://semuayangkutuliskan.blogspot.com/
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !